Kamis, 26 Maret 2009

pendidikan keagamaan

Tanamkan Pendidikan Keagamaan Sejak Usia Dini

Written by Johan

Pendidikan agama memang harus dimulai sejak dini, agar mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang benar-benar tumbuh sebagai insan akhlakul kharimah, sebagaimana inti risalah Nabi Muhammad SAW.


Ajakan itu disampaikan Bupati Deliserdang Drs H Amri Tambunan di depan ratusan masyarakat pada saat acara pengukuhan Pimpinan dan Pengurus Yayasan Pendidikan Madarasah Al Amin, HM Dahril Siregar sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Yayasan Drs H M Yahya Z, yang dirangkaikan dengan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1430 H, Senin (9/3) di Desa Medan Estate Kecamatan Percut Sei Tuan.


Lebih lanjut Bupati mengatakan nilai-nilai keteladanan Nabi Muhammad SAW perlu diaplikasikan dalam usaha mewariskan kehidupan yang lebih baik pada generasi muda. Dan kepada para pengurus Yayasan Al Amin yang telah dikukuhkan diharapkan dapat memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam peningkatan pendidikan agama kepada para anak didik.


Turut memberikan sambutan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Al Amin Medan Estate HM Dahril Siregar yang juga sebagai Ketua DPC Pemuda Pancasila Kabupaten Deliserdang.


Sementara Ketua Panitia DR Muhammad Yusuf MSi menjelaskan, kegiatan dirangkaikan dengan lomba baca tahtim tahlil bagi kaum ibu dan lomba praktik shalat dan lomba azan bagi anak-anak murid.


Hadir mendampingi bupati Kadis Dikpora Drs Sofian Marpaung MPd, sejumlah pejabat Pemkab Deliserdang, Camat Percut Sei Tuan H Syafrullah S Sos MAP/Muspika, serta tokoh pemuda dr Boyke Sihombing.

Artikel 1.
Pendidikan Keagamaan

Pendidikan keagamaan diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau kelompok masyarakat dari pemeluk agama, sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan keagamaan berbentuk:

  1. pendidikan diniyah,
  2. pesantren,
  3. pasraman,
  4. pabhaja samanera, dan bentuk lain yang sejenis

Artikel 2.

Pendidikan Keagamaan Hadapi Kendala Serius

Senin, 2 Juni 2008 13:44:43 - oleh : admin

YOGYAKARTA--Menteri Agama M Maftuh Basyuni menegaskan, sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sangat berkepentingan untuk memperkenalkan Islam sebagai agama Rahmatan lil Alamin. ''Kami merasa berkewajiban menjawab tuduhan zalim yang menuding Islam sebagai agama terorisme,'' kata Menteri Agama saat memberi sambutan atas penganugerahan doktor honoris causa kepada Grand Mufti Dr Ahmad Badruddin Hassoun di Universitas Islam Sunan Kalijaga, Yogyakarta, Kamis (22/5). Islam agama yang mengedepankan perdamaian daripada kekerasan. Hal itu amat berbeda dari mainstream pemberitaan media massa yang mengaitkan Islam dengan aksi kekerasan. Sayangnya, kata Maftuh lagi, di antara umat Islam sendiri terdapat orang-orang yang memberikan reaksi berlebihan terhadap tuduhan tersebut. ''Sehingga, timbul kesan bahwa yang dituduhkan itu benar,'' paparnya. Alquran, kata Menag, memerintahkan dan selalu mengingatkan umat Islam untuk mengambil sikap dengan bijak. Ajaran Islam yang demikian itu yang diterapkan di Indonesia dan di seluruh dunia untuk mengedepankan dialog dan menghilangkan konflik. Karena itu, kata Menag, kiprah Dr Hassoun di bidang keislaman yang mendorong budaya dialog ini amat pantas diberikan penghargaan ilmiah berupa doktor honoris causa. ''Mudah-mudahan penganugerahan gelar ini memperoleh berkah dari Allah SWT dan semakin akan mempererat hubungan persahabatan Indonesia-Suriah,'' kata Menag. Pada acara itu, Menag memaparkan pembinaan keagamaan di tengah masyarakat masih menghadapi kendala serius. Tidak semua komponen masyarakat dan elemen bangsa, kata dia, bergerak ke arah yang sama. Pendidikan agama di sekolah juga kerap tak sejalan dengan muatan pesan yang disampaikan media massa. Ditambahkan Menag, terjadi kontradiksi atau benturan nilai yang cukup kuat dalam upaya mengarahkan masyarakat dan bangsa Indonesia agar menjadi bangsa yang maju dan menjunjung tinggi nilai-nilai dan moral keagamaan. ''Fenomena itu merupakan salah satu konsekuensi bagi bangsa-bangsa yang tertinggal dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi dalam menghadapi percaturan budaya global,'' kata Menag. Oleh karena itu, dia berharap perguruan tinggi Islam bisa memainkan peran yang lebih besar dalam upaya bangsa ini meningkatkan kualitas pemahaman dan penghayatan agama di kalangan warga masyarakat. ''Paling tidak setiap perguruan tinggi Islam harus mampu memberikan pencerahan terhadap umat di lingkungan sekitarnya dan memberikan kontribusi untuk memecahkan masalah sosial keagamaan pada tingkat lokal, nasional, dan global,'' tutur Menag. BPIH 1429 H Usai bicara pada forum resmi, Menag yang dicegat wartawan sempat memberikan penjelasan terkait biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) 1429 H. Menag mengatakan masih menunggu kesepakatan dengan maskapai penerbangan. ''Sekarang ini agak tersandung oleh penetapan mengenai penerbangan. Dari penetapan itu (persetujuan oleh DPR--Red) tidak banyak berubah. Hanya, mungkin nanti kalau ada perubahan, itu kemungkinan karena kenaikan (biaya) penerbangan,'' papar Menag lagi. Menag meminta penerbangan tidak mengeskploitasi jamaah haji dengan menetapkan tarif yang teramat tinggi, meskipun ia tahu bahwa harga avtur juga melonjak. ''Mudah-mudahan ada jalan keluar yang baik,'' katanya berharap. Selain biaya penerbangan, pemerintah terus menyiapkan pondokan untuk calon jamaah haji. Saat ini, menurut Menag, sudah 40 persen pondokan disiapkan dan 60 persen sisanya sedang diselesaikan dalam waktu dekat. Menag berharap 50 persen pondokan berada di ring satu atau lokasi dekat Masjidil Haram. (osa ) (sumber: republika

Artikel 3.

Pendidikan Keagamaan; Politik Pendidikan Penebus Dosa

Nasib pendidikan keagamaan sudah lama menyimpan memori panjang diskriminasi anggaran. Negara lebih memanjakan pembiayaan sekolah umum dan mengabaikan sekolah agama. Belanja negara dialokasikan secara tidak berimbang antara lembaga pendidikan negeri dan swasta. Sialnya, sebagian besar lembaga pendidikan keagamaan berstatus swasta.

Lengkap sudah nestapa pendidikan berbasis agama yang berlangsung sejak dahulu kala. “Sekarang negara harus menebus dosa dengan menunjukkan pemihakan pada pemberdayaan pendidikan keagamaan,” kata Menteri Agama, Maftuh Basyuni. Sebab para pendidik dan anak didik di lingkungan pendidikan keagamaan juga warga negara yang sama dengan anak didik dan pendidik pada umumnya. “Mereka sama-sama mendedikasikan diri untuk pendidikan anak bangsa,” Maftuh menambahkan.

Awal tahun anggaran ini menjadi momentum penting untuk menguji apakah politik anggaran negara sudah menunjukkan aksi nyata “penebusan dosa”. Perangkat regulasi sebenarnya sudah kian lengkap. Pada penghujung 2007, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menetapkan Peraturan Pemerintah (PP) 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan.

Beleid itu mengukuhkan kebijakan pendidikan dalam Undang-Undang 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Bahwa pendidikan keagamaan adalah bagian integral sistem pendidikan nasional. Undang-undang ini menjadi tonggak penting politik pendidikan yang menghapus diskriminasi antara sekolah negeri dan swasta serta antara sekolah umum dan sekolah keagamaan. Alokasi anggaran pun, menurut Pasal 12 PP 55/2007, harus adil antara sekolah negeri dan swasta.

Pendidikan keagamaan merupakan wujud orisinal pendidikan berbasis masyarakat di Nusantara. Mereka tumbuh dari, oleh, dan untuk masyarakat. Di lingkungan Islam terdapat pesantren, madrasah, dan diniyah. Di Katolik ada seminari.

Di Hindu ada pasraman dan pesantian. Buddha mengenal pabbajja. Konghucu menyebut shuyuan, dan sebagainya. Tumbuhnya pendidikan keagamaan dalam masyarakat sebagian justru akibat kebijakan negara yang buruk dalam mengelola pendidikan agama.

Pendidikan agama kerap berjasa menampung anak didik yang kurang mampu, sehingga tidak terwadahi di sekolah umum dan negeri. Banyak di antara lulusannya yang kemudian menjadi tokoh penting dalam sejarah nasional. Jumlah mereka tidak bisa dipandang sebelah mata.

Di lingkungan pendidikan Islam saja, menurut data Departemen Agama (Depag) tahun 2006, ada 2,67 juta anak didik yang menempuh pendidikan di 14.700 pondok pesantren. Hampir sama dengan jumlah mahasiwa di 2.800 perguruan tinggi negeri dan swasta di bawah Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas), sebanyak 2,69 juta orang.

Yang bersekolah di 27.000 sekolah diniyah ada 3,4 juta orang. Setara dengan siswa pada 9.000-an SMA negeri dan swasta se-Indonesia, yang juga berjumlah 3,4 juta.

Peserta pendidikan dasar sembilan tahun di lingkungan madrasah dan diniyah mencapai 6,1 juta murid. Seperenam dari total peserta pendidikan dasar sembilan tahun ada di lingkungan Depdiknas, yang mencapai 36 juta murid.

Sebagian terbesar (lebih 80%) jenjang pendidikan agama di lingkungan Islam, mulai level taman kanak-kanak (TK) hingga perguruan tinggi, adalah swasta. Bahkan, menurut data Depag tahun 2005, sekitar 17.000 raudhatul athfal (TK), 14.700-an pesantren, dan 27.600-an diniyah adalah swasta.

Di Nusa Tenggara Timur (NTT), 90% SD hingga SMA adalah sekolah Katolik dan berstatus swasta. Dari seluruh pendidikan Katolik itu, 60% sehat, 30% sedang, dan 20% hampir sekarat. Sekolah Katolik yang sehat ada di Flores, sedangkan yang sulit berkembang terdapat di Sumba.

“Pada masa Orde Baru, di sini pun sekolah Katolik swasta jadi anak tiri,” kata Ludo Taolin, Wakil Ketua DPRD Belu, NTT. “Padahal, sekolah Katolik banyak berperan mendidik kalangan menengah ke bawah,” katanya. Baru setelah reformasi, menurut Ludo, insentif guru untuk sekolah negeri dan swasta sama. Pemerintah daerah mulai membantu dengan menempatkan guru negeri di sekolah Katolik swasta.

Wajah politik anggaran pemerintah pusat dalam bidang pendidikan berbasis agama dapat dilihat dari anggaran Depag. Tahun 2008 ini, ada peningkatan persentase alokasi untuk “fungsi pendidikan” ketimbang tahun 2007.

Pada 2007, dari total anggaran Depag Rp 14,5 trilyun, alokasi terbesarnya (49,5%) adalah untuk “fungsi pelayanan umum” (Rp 7,2 trilyun). Porsi anggaran pendidikan di Depag pada waktu itu hanya menduduki pos kedua, senilai Rp 6,6 trilyun (46%).

Tahun 2008 ini, di satu sisi, anggaran Depag meningkat 20,9%, menjadi Rp 17,6 trilyun. Di sisi lain, alokasi terbesar bergeser dari fungsi pelayanan umum ke fungsi pendidikan. Gelontoran dana pendidikan meningkat lebih dari dua kali lipat dari tahun lalu, menjadi Rp 14,3 trilyun (81,4%) –macam-macam alokasinya lebih rinci, lihat tabel.

Tidak hanya di tingkat pusat. Wajah lebih ramah pada pendidikan agama juga ditampilkan sejumlah pemerintah daerah. Namun kebijakan anggaran APBD provinsi dan kabupaten/kota sempat tersandung Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Moh. Ma’ruf, Nomor 903/2429/SJ tanggal 21 September 2005 tentang Pedoman Penyusunan APBD 2006 dan Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2005.

Surat itu oleh sebagian kepala daerah diartikan sebagai larangan alokasi APBD untuk pendidikan keagamaan, karena bidang agama tidak mengalami desentralisasi. Sehingga anggarannya diambilkan dari belanja pemerintah pusat di APBN, bukan dari APBD.

Hal itu, misalnya, dilakukan Kabupaten Aceh Barat. Dana kesejahteraan guru hanya diberikan kepada guru di lingkungan Depdiknas, tidak diberikan pada guru agama di madrasah yang berafiliasi ke Depag. Akibatnya, seluruh guru madrasah se-Aceh Barat sempat melakukan aksi mogok mengajar pada Agustus 2006.

Hingga 2005, sejumlah gedung madrasah di Kabuaten Tangerang, Banten, rusak berat dan tidak segera direhabilitasi. Menurut anggota DPRD Tangerang, Imron Rosadi, kepada koran lokal, itu terjadi karena APBD Kabupaten Tangerang tidak mengalokasikan bantuan. Baru pada 2007 anggaran perbaikan dan pembangunan gedung disediakan APBD.

Efek surat edaran Menteri Dalam Negeri (Mendagri) itu menyulut tuntutan berbagai kalangan agar surat tersebut dicabut. Wakil Ketua DPR pada saat itu, Zaenal Ma’arif, sejumlah anggota DPR, dan Menteri Agama Maftuh Basyuni minta surat edaran itu direvisi karena bisa menghadirkan kembali politik anggaran yang diskriminatif.

Banyak kepala daerah dikabarkan gelisah. Di satu sisi, tak mau salah dalam mengalokasikan anggaran. Di sisi lain, tak ingin berkonfrontasi dengan para elite agama. Pada musim pemilihan kepala daerah secara langsung sekarang ini, hal itu bisa berdampak buruk pada popularitas para tokoh politik lokal. Berbagai proses politik, lobi, dan manuver di balik layar pun ditempuh untuk menyetop berlakunya surat Mendagri itu.

Tapi masih ada beberapa pimpinan daerah yang tidak memedulikan “larangan” surat edaran Mendagri itu. Misalnya dilakukan Bupati Pekalongan, Gresik, dan Banyuwangi di Jawa Timur. Di Banyuwangi, surat Mendagri itu hanya sempat jadi pembicaraan singkat, tapi tidak mempengaruhi alokasi anggaran.

Menurut Arifin Salam, anggota DPRD dan Ketua Lembaga Pendidikan Maarif Banyuwangi, APBD setempat tetap mengalokasikan bantuan pada seluruh siswa pendidikan swasta Rp 20.000 per bulan secara adil. “Sekolah umum dan madrasah punya hak yang sama,” katanya.

Sekolah negeri tidak memperoleh bantuan karena sudah mendapat anggaran operasional dari negara. Tahun 2008, anggaran pendidikan di APBD Banyuwangi mencapai 23%. Bujet buat pendidikan keagamaan semacam pesantren dan semua lembaga pendidikan agama di luar Islam meningkat pesat.

Bila tahun 2005 hanya Rp 3 milyar, tahun 2008 ini mencapai Rp 18 milyar. Sampai-sampai, anggaran dinas lain, seperti peternakan, dikurangi. “Komitmen kami pada pendidikan agama sangat kuat,” ujar Arifin.

Di Langkat, Sumatera Utara, bantuan APBD juga tetap lancar, tak terganggu oleh polemik surat edaran Mendagri. Ustad Muhammad Nuh, pimpinan Pesantren Al-Uswah, Langkat, pada 2007 masih mendapat bantuan dari APBD Sumatera Utara dan APBD Langkat. Namun sifatnya bantuan insidental, tidak tetap. Setahu Nuh, pesantren lain juga masih mendapat bantuan APBD.

Bagi Hidayatullah, anggota Komisi C DPRD Sumatera Utara, kalaupun surat Mendagri itu betul-betul melarang karena kendala ketentuan desentralisasi, semestinya pemerintah daerah tidak kehabisan akal untuk membantu pendidikan keagamaan. Yang penting, ada kemauan politik. Sebab bantuan untuk pendidikan keagamaan masih bisa disalurkan lewat pos bantuan sosial. Hanya, kelemahannya, bantuan tersebut tak bisa rutin dikucurkan.

Sebagian daerah lain meresponsnya dengan membentuk peraturan daerah (perda) tentang madrasah diniyah. Misalnya Banjar, Indramayu, Cirebon, Pandeglang, dan diperjuangkan beberapa daerah lain, seperti Tangerang dan Majalengka. Dengan perda diniyah itu, APBD berkewajiban mengalokasikan anggaran tetap. Apa pun bunyi surat Mendagri tidak berpengaruh.

Lima bulan setelah surat edaran Mendagri beredar, pada Februari 2006 Dirjen Bina Administrasi Keuangan Daerah Depdagri, Daeng M. Nazier, membuat surat klarifikasi bertajuk “Dukungan Dana APBD”. Surat yang ditujukan ke gubernur, bupati, wali kota, serta ketua DPRD provinsi dan kabupaten itu menegaskan, “… sekolah yang dikelola oleh masyarakat, termasuk yang berbasis keagamaan seperti madrasah,… dapat didanai melalui APBD sepanjang pendanaan yang bersumber dari APBN belum memadai.”

Daeng M. Nazier juga membuat klarifikasi lewat keterangan pers. “Akhir-akhir ini berkembang penafsiran yang salah terhadap isi surat edaran Menteri Dalam Negeri,” katanya. “Seolah-olah Menteri Dalam Negeri melarang/tidak memperbolehkan dana APBD digunakan untuk mendanai program/kegiatan sekolah-sekolah berbasis keagamaan.”

Nazier menyinggung adanya daerah yang menyetop pendanaan dari APBD untuk kegiatan madrasah ibtidaiyah, tsanawiah, dan aliyah, dengan alasan urusan agama tidak diserahkan kepada Daerah. Padahal, konteksnya berbeda. “Yang tidak menjadi urusan daerah adalah urusan keagamaan, sedangkan urusan pendidikan sudah menjadi urusan wajib pemerintahan daerah.”

Ditegaskan pula, “Seharusnya pemerintah daerah tetap memberikan alokasi dana APBD yang seimbang kepada sekolah-sekolah negeri dan sekolah-sekolah yang berbasis keagamaan.” Sehingga tidak menimbulkan keresahan dan menjaga keberlangsungan proses belajar-mengajar di tiap-tiap daerah.

Surat itu segera diimplementasikan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk meredam aksi mogok para guru madrasah. Namun disinyalir banyak daerah lain tidak mau merujuknya, karena surat itu hanya ditandatangani direktur jenderal. Perlu ada ralat langsung dari Mendagri. Tarik-menarik di balik layar pun masih berlangsung kencang.

Maka, pada Juni 2007, Mendagri ad interim Widodo AS (karena Moh. Ma’ruf sakit) membuat Peraturan Mendagri Nomor 30 Tahun 2007 tentang Pedoman Penyusunan APBD Tahun 2008. Peraturan ini menekankan dilarangnya diskriminasi dalam alokasi anggaran: “Dalam mengalokasikan belanja daerah, harus mempertimbangkan keadilan dan pemerataan agar dapat dinikmati oleh seluruh lapisan masyarakat tanpa diskriminasi pemberian pelayanan.”

Empat bulan kemudian, Oktober 2007, lahir PP 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan tadi. “Dasar hukum dukungan APBD pada pendidikan keagamaan, seperti pesantren dan diniyah, sebenarnya sudah sangat kuat,” kata Amin Haedari, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag.

Namun Amin mengaku masih saja ada daerah yang bertanya, minta kepastian, tentang boleh tidaknya APBD membiayai sekolah agama. “Baru-baru ini, ada DPRD dari Bangka Belitung yang juga bertanya,” kata birokrat yang banyak membuat terobosan pemberdayaan pesantren itu. Pasca-keluarnya PP itu, semestinya politik anggaran untuk pendidikan keagamaan lebih mulus berjalan.

Tapi mantan Wakil Ketua Komisi Pendidikan DPR, Masduki Baidlowi, menilai diskriminasi anggaran daerah sampai saat ini masih berlangsung. Diskriminasi itu bukan hanya dalam bentuk tidak dialokasikannya anggaran sama sekali. Ada yang memberi alokasi tapi dengan jumlah yang tidak sebanding dengan pendidikan umum. “Itu juga diskriminasi,” katanya.

Masduki menyebut kasus tunjangan guru di DKI Jakarta. Guru di lingkungan Depdiknas mendapat tunjangan Rp 2,5 juta sebulan. Tapi guru madrasah hanya memperoleh Rp 500.000. “Semestinya justru dilakukan kebijakan afirmatif. Perbandingannya, tiga buat madrasah, dua buat sekolah umum,” katanya. “Karena dari awal posisi sarana-prasarana madrasah sudah tertinggal jauh.”

Seretnya alokasi anggaran buat pendidikan keagamaan di tingkat dearah mendorong perencana anggaran tingkat pusat lebih meningkatkan pasokan anggaran. Gelontoran anggaran yang paling besar sejak akhir 2007 adalah diberikannya tunjangan untuk 501.000 guru non-PNS yang mengajar di semua jenjang sekolah agama Islam. Mulai tingkat RA sampai aliyah. Tiap bulan, per orang memperoleh Rp 200.000. Total dalam setahun Rp 1,2 trilyun.

“Ini sudah menjadi tunjangan tetap tiap tahun,” ujar Achmad Djunaidi, Kepala Biro Perencanaan Depag. “Karena banyak guru swasta di madrasah yang sudah mengajar belasan tahun tapi dengan imbalan di bawah Rp 100.000 sebulan.” Tidak mudah, katanya, mengupayakan golnya alokasi tunjangan ini.

Namun, seberat-beratnya memperjuangkan anggaran, menurut Djunaidi, ada hal lanjutan yang jauh lebih penting dan berat. “Yaitu memastikan bantuan pendidikan itu tepat sasaran,” katanya. “Semua orang tahu, birokrasi kita masih korup.” Alokasi dana buat murid dan guru harus betul sampai di tangan mereka. “Jangan sampai mengendap di kantong ketua yayasan atau kepala sekolah,” ujarnya.

Artikel 4.

Korelasi UU Sisdiknas dan PP Pendidikan Keagamaan

Selasa, 10 Maret 2009

Pada tanggal 10 Maret 2009 Kantor Depag Kota Semarang mengadakan Rapat Kerja (Raker). Raker diikuti oleh Kepala KUA, Pejabat struktural di lingkungan Depag dan beberapa Kepala MI atau MTs. Pada salah satu sesi raker tersebut, Dinas Pendidikan Kota Semarang turut menyampaikan materi dengan topik Korelasi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Keagamaan. Pada materi yang disampaikan diulas tentang hirarki regulasi dari UUD 1945 sampai turunnya PP 55/2007 tersebut.

Dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional ditegaskan bahwa strategi pertama dalam melaksanakan pembaruan sistem pendidikan

nasional adalah “pelaksanaan pendidikan agama dan akhlak mulia”.

Artikel
5.
Uji Publik RPMA Pendidikan Keagamaan Islam

Keagamaan Islam

Jumat, 27 Februari 2009

Jakarta (www.pondokpesantren.net) – Sebanyak 45 orang peserta dari berbagai kalangan baik praktisi pendidikan dan pimpinan pondok pesantren bertemu di Hotel Ibis Tamarin Jakarta selama 2 hari (26-27 Februari 2008) untuk melakukan uji publik terkait dengan RPMA Pendidikan Keagamaan Islam.

Para peserta itu terdiri atas para pejabat BSNP, Dekan Fakultas Syari’ah dan Tarbiyah dari UIN/IAIN, pimpinan pondok pesantren, Kepala Bidang Pendidikan Keagamaan dan Pondok Pesantran, Kepala Seksi Kanwil serta para Kasubdit Direktorat Pendikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI.

Acara yang diselenggarakan oleh Direktorat Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Depag RI bekerjasama dengan Badan Standar Nasionanal Pendidikan (BSNP) ini bertemakan; “Menegakkan Eksistensi Pendidikan Keagamaan dalam Sistem Pendidikan Nasional”.

Dalam pidato sambutan selaku penanggungjawab acara sekaligus sebagai Kasubdit Pendidikan Diniyah, H. Mahmud, M. Pd mengatakan bahwa sebenarnya yang diupayakan menjadi peraturan menteri agama ini ada 4 hal yaitu; Pertama, RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam yang meliputi diniyah athfal, ula wustho, ulya dan ma’had Aly, ini yang formalnya. Sedangkan yang non-formalnya; majlis ta’lim, taman pendidikan al Qur’an (TPA), diniyah takmiliyah (pengganti madrasah diniyah) dan pondok pesantren.

Kedua, RPMA terkait dengan standar isi dari pendidikan keagamaan tingkat dasar`dan menengah. Ketiga, RPMA tentang standar kompetensi lulusan terkait di dalamannya pendidikan dasar dan menengah. Dan keempat RPMA tentang ujian nasional pendidikan keagamaan Islam.

Namun, sambung H. Mahmud, yang diujipublikkan hanya tiga hal (kecuali RPMA tentang syarat pendirian pendidikan keagamaan Islam) karena hanya ketiga hal itulah yang menjadi kewenangan BSNP.

Sebenarnya pertemuan kali ini adalah untuk kali keempatnya setelah BSNP menyarankan sebelum dikeluarkannya rekomendasi terhadap ketiga point diatas maka harus diadakan uji publik terlebih dahulu, inilah latar belakang adanya uji publik kali ini, lanjut H. Mahmud. (pip)


Artikel 6.

Tanamkan Pendidikan Keagamaan Sejak Usia Dini

Written by Johan

Pendidikan agama memang harus dimulai sejak dini, agar mampu melahirkan generasi penerus bangsa yang benar-benar tumbuh sebagai insan akhlakul kharimah, sebagaimana inti risalah Nabi Muhammad SAW.


Ajakan itu disampaikan Bupati Deliserdang Drs H Amri Tambunan di depan ratusan masyarakat pada saat acara pengukuhan Pimpinan dan Pengurus Yayasan Pendidikan Madarasah Al Amin, HM Dahril Siregar sebagai Ketua Dewan Pembina dan Ketua Yayasan Drs H M Yahya Z, yang dirangkaikan dengan peringatan Maulid Nabi Besar Muhammad SAW 1430 H, Senin (9/3) di Desa Medan Estate Kecamatan Percut Sei Tuan.


Lebih lanjut Bupati mengatakan nilai-nilai keteladanan Nabi Muhammad SAW perlu diaplikasikan dalam usaha mewariskan kehidupan yang lebih baik pada generasi muda. Dan kepada para pengurus Yayasan Al Amin yang telah dikukuhkan diharapkan dapat memberikan perhatian yang sungguh-sungguh dalam peningkatan pendidikan agama kepada para anak didik.


Turut memberikan sambutan Ketua Dewan Pembina Yayasan Pendidikan Al Amin Medan Estate HM Dahril Siregar yang juga sebagai Ketua DPC Pemuda Pancasila Kabupaten Deliserdang.


Sementara Ketua Panitia DR Muhammad Yusuf MSi menjelaskan, kegiatan dirangkaikan dengan lomba baca tahtim tahlil bagi kaum ibu dan lomba praktik shalat dan lomba azan bagi anak-anak murid.


Hadir mendampingi bupati Kadis Dikpora Drs Sofian Marpaung MPd, sejumlah pejabat Pemkab Deliserdang, Camat Percut Sei Tuan H Syafrullah S Sos MAP/Muspika, serta tokoh pemuda dr Boyke Sihombing.




pendidikan anak usia dini

Artikel 1.
Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan anak usia dini diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar.

Pendidikan anak usia dini dapat diselenggarakan melalui jalur pendidikan formal, nonformal, dan/atau informal.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan formal berbentuk:

  1. Taman Kanak-kanak (TK),
  2. Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan nonformal berbentuk:

  1. Kelompok Bermain (KB),
  2. Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat.

Pendidikan anak usia dini pada jalur pendidikan informal berbentuk pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan.

Artikel 2.

Pendidikan anak usia dini

Mengacu Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, Pasal 1 Butir 14 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut.

Artikel 3.

Pendidikan Anak Usia Dini

Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) ialah upaya pembinaan bagi anak sejak lahir nganti usia enam tahun sing dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan. Tujuane nggo membantu pertumbuhan lan perkembangan jasmani rohani sebagai persiapan nggo melebu nang jenjang pendidikan dasar. PAUD kudhu dianggap sebagai upaya awal ke arah pertumbuhan lan perkembangan lahiriah (koordinasi motorik halus lan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap lan perilaku termasuk juga agama), bahasa lan komunikasi, sing disesuaikan karo keunikan serta tahap-tahap perkembangan sing dilalui anak usia dini.

Artikel 4.

SEJARAH BERDIRINYA
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (SK. No. 127 / Dikti / Kep. / 1999) FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN - UNIVERSITAS NEGERI JAKARTA

Program Studi Pendidikan Anak Usia Dini merupakan program studi yang diadaptasi dan dikembangkan dari Program Studi/Jurusan Pendidikan Anak Pra Sekolah dan Dasar, yang telah berdiri sejak tahun 1978 melalui Surat Keputusan Rektor IKIP Jakarta No. 2091/ SP/1985. Jurusan Pendidikan Anak sejak itu melakukan kajian akademik dan praktik kependidikan pada anak usia prasekolah dan sekolah dasar.

Selama perjalanan tersebut sempat vacum 2 angkatan yakni sejak 1995-1997. Pada tahun 1997 terjadi dorongan kuat untuk memodifikasi dan memperbaharui kurikulum jurusan/program studi Pendidikan Anak Pra Sekolah dan Dasar. Selama tiga tahun dilakukan kajian struktur akademik naskah kurikulum yang mengkonsentrasikan diri pada pengembangan rumpun keilmuan Pendidikan Anak usia Dini. Pengembangan kurikulum didasarkan pada pendekatan telaah konten akademik, analisis pakar dan perbandingan dengan kurikulum Pendidikan Anak usia Dini yang diterapkan di negara maju.

Upaya mereview dan mengembangkan kurikulum prodi atau jurusan lama terus dilakukan sampai dengan bulan April 1999. Pendekatan pengembangan kurikulum yang dilakukan saat itu adalah pendekatan keilmuan, studi komparatif dan pertimbangan ahli (expert judment). Melalui berbagai kajian tersebut, pada tahun 1999 telah disetujui pembentukan program strata satu (S-1) Pendidikan Anak usia Dini di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Jakarta. Persetujuan ini diperoleh melalui SK Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi No. 127/Dikti/Kep/1999.

Sejak angkatan 1999, program studi PAUD mengalami peningkatan yang pesat, baik dari segi kepercayaan, kerja sama maupun daya tarik animo calon mahasiswa yang mencapai titik yang paling tinggi. Kepercayaan pembinaan lembaga-lembaga pendidikan anak usia dini seperti Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Kelompok Bermain dan Taman Pengasuhan Anak telah berlangsung secara intensif, baik pada tingkat lokal maupun nasional. Beberapa dosen program studi PAUD telah terlibat secara aktif dalam memberikan seminar, pelatihan dan workshops, lokakarya pembinaan praktisi dan penyelenggara lembaga pendidikan anak usia dini tersebut.

Program studi Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sebagai salah satu program studi yang berada dalam lingkup organisasi jurusan Pendidikan Anak di Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP), Universitas Negeri Jakarta. Program studi ini mengembangkan program pendidikan akademik dan profesional kependidikan pada jenjang strata satu serta memiliki keterpautan dengan program strata dua dan strata tiga (program Doktor) pendidikan anak usia dini di Pasca Sarjana.

Bagi para lulusan S1 PAUD dapat melanjutkan pendidikannya ke jenjang yang lebih tinggi karena sejak tahun 1995 telah dibuka program strata dua (S-2) Pendidikan Usia Dini, dan sejak tahun 2003 dibuka program strata tiga (S-3) Pendidikan Usia Dini pada Program Pasca Sarjana Universitas Negeri Jakarta.


Artikel 5.

Pendidikan anak usia dini

Pendidikan anak usia dini (PAUD) adalah jenjang pendidikan sebelum jenjang pendidikan dasar yang merupakan suatu upaya pembinaan yang ditujukan bagi anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut, yang diselenggarakan pada jalur formal, nonformal, dan informal.

Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitikberatkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik (koordinasi motorik halus dan kasar), kecerdasan (daya pikir, daya cipta, kecerdasan emosi, kecerdasan spiritual), sosio emosional (sikap dan perilaku serta agama) bahasa dan komunikasi, sesuai dengan keunikan dan tahap-tahap perkembangan yang dilalui oleh anak usia dini.

Ada dua tujuan diselenggarakannya pendidikan anak usia dini yaitu:

  • Tujuan utama: untuk membentuk anak Indonesia yang berkualitas, yaitu anak yang tumbuh dan berkembang sesuai dengan tingkat perkembangannya sehingga memiliki kesiapan yang optimal di dalam memasuki pendidikan dasar serta mengarungi kehidupan di masa dewasa.
  • Tujuan penyerta: untuk membantu menyiapkan anak mencapai kesiapan belajar (akademik) di sekolah.

Rentangan anak usia dini menurut Pasal 28 UU Sisdiknas No.20/2003 ayat 1 adalah 0-6 tahun. Sementara menurut kajian rumpun keilmuan PAUD dan penyelenggaraannya di beberapa negara, PAUD dilaksanakan sejak usia 0-8 tahun.

Ruang Lingkup Pendidikan Anak Usia Dini

  • Infant (0-1 tahun)
  • Toddler (2-3 tahun)
  • Preschool/ Kindergarten children (3-6 tahun)
  • Early Primary School (SD Kelas Awal) (6-8 tahun


Rabu, 25 Maret 2009

pendidikan non formal

Artikel 1.
Pendidikan nonformal

Pendidikan non formal meliputi pendidikan dasar, dan pendidikan lanjutan.

Pendidikan dasar mencakup pendidikan keaksaraan dasar, keaksaraan fungsional, dan keaksaraan lanjutan paling banyak ditemukan dalam pendidikan usia dini (PAUD), Taman Pendidikan Al Quran (TPA), maupun Pendidikan Lanjut Usia. Pemberantasan Buta Aksara (PBA) serta program paket A (setara SD), paket B (setara B) adalah merupakan pendidikan dasar.

Pendidikan lanjutan meliputi program paket C(setara SLA), kursus, pendidikan vokasi, latihan keterampilan lain baik dilaksanakan secara terogranisasi maupun tidak terorganisasi.

Pendidikan Non Formal mengenal pula Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) sebagai pangkalan program yang dapat berada di dalam satu kawasan setingkat atau lebih kecil dari kelurahan/desa. PKBM dalam istilah yang berlaku umum merupakan padanan dari Community Learning Center (CLC)yang menjadi bagian komponen dari Community Center.

Artikel 2.
"Home Schooling" Alternatif Pendidikan Non-formal

Jakarta (ANTARA News) - 'Home Schooling' menjadi alternatif pilihan pendidikan nonformal bagi anak-anak yang enggan belajar secara formal di kelas.

"Pendidikan ini dapat dilakukan di mana saja dan membuat anak merasa bebas tanpa ada paksaan," kata Pendiri Home Schooling Kak Seto atau nama lengkapnya Seto Mulyadi, di Jakarta, Rabu.

Dia mengatakan keputusan untuk mengikuti home schooling ini haruslah sepenuhnya dari keinginan anak, tanpa paksaan dari orang tua.

Menurut dia, kesuksesan untuk dapat menjadi guru yang baik bagi anak-anak adalah dengan cara bersabar, mengajarkan tanpa paksaan, dan dengan bahasa yang lembut.

"Tidak perlu dengan paksaan dan suara tinggi. Lakukan dengan senyum, maka mereka akan senang," katanya.

Dia mengatakan ada beberapa klarifikasi format home schooling yang diperkenalkan, yakni home schooling tunggal yang hanya dididik oleh orang tua, home schooling majemuk yang dilaksanakan dua atau lebih keluarga untuk kegiatan tertentu, sementara kegiatan pokok tetap dilaksanakan oleh orang tua masing-masing.

Dan terakhir, dia menyebutkan komunitas home schooling yang merupakan gabungan beberapa home schooling majemuk yang menyusun dan menentukan silabus, bahan mengajar, kegiatan pokok seperti olahraga, musik dan seni, serta sarana dan jadwal pembelajaran.

Salah seorang murid Kak Seto yang juga memiliki home schooling untuk balita, Shelomita, mengatakan terkadang orang tua tidak yakin dapat menjadi guru yang baik bagi putra-putrinya sendiri.

Menurut Shelomita, pada awalnya dia juga merasa khawatir apakah mampu untuk menjadi guru bagi anak-anaknya. Namun, akhirnya dengan kepercayaan diri sanggup menjadi guru sekaligus orang tua bagi anak-anaknya.

Alasan dia membuka home schooling untuk balita, yakni ingin memberi kebebasan pada anak-anak, tapi tetap dapat belajar.

Artikel 3.
LOMBA JURNALISTIK PAUD TINGKAT NASIONAL TAHUN 2009

Tema Lomba Jurnalistik PAUD 2009

“ PAUD Sebagai Investasi Strategis Pembangunan Manusia Seutuhnya dan Pembangunan Nasional pada masa mendatang “"

LOMBA JURNALISTIK PAUD
TINGKAT NASIONAL TAHUN 2009
Tema Lomba Jurnalistik PAUD 2009
“ PAUD Sebagai Investasi Strategis Pembangunan Manusia Seutuhnya dan Pembangunan Nasional pada masa mendatang “
Persyaratan Lomba Jurnalistik
1. Masyarakat Umum/Wartawan
2. Karya Tulis mengenai PAUD telah diterbitkan di surat kabar/harian/mingguan/Tabloid, dan Majalah sejak 2 Januari 2009 sampai dengan 2 Juli 2009.
3. Karya Tulis dapat berupa artikel, feature atau berita minimal 3000 karakter
4. Kriteria penilaian mencakup: bobot tulisan, aspek investigasi, argumentasi, orisinilitas data dan fakta, teknik penulisan, struktur penulisan dan bahasa, serta bloking masalah. Solusi: pemecahan masalah yang ditawarkan bukan sekedar fakta dan data. Inovasi: adanya penemuan baru/ide baru.
5. Karya Tulis (bukti penerbitan, kliping, dan naskah asli serta identitas diri dan kontrak person) dikirim ke:
PANITIA LOMBA JURNALISTIK PAUD TINGKAT NASIONAL TAHUN 2009
Up Subdit Kemitraan d/a Direktorat Pendidikan Anak Usia Dini, Ditjen PNFI, Depdiknas.
Gedung E Lantai VII. Jalan: Jenderal Sudirman, Senayan Jakarta 10270.
Hadiah Pemenang
1. Juara I Rp.12.500.000,-
2. Juara II Rp.10.000.000,-
3. Juara III Rp.7.500.000,-
4. Juara Harapan I Rp.6.500.000,-
5. Juara Harapan II Rp.5.000.000,-
6. Juara Harapan III Rp.4.000.000,-
(Pajak ditanggung Pemenang Lomba)
Pengumuman Pemenang Lomba
Pengumuman pemenang akan diinformasikan melalui surat kepada yang bersangkutan selambat-lambatnya pada akhir bulan September 2009.
Ketentuan Tambahan
1. Segala hasil keputusan panitia mutlak tidak dapat diganggu gugat.
2. Naskah yang masuk menjadi hak Panitia


Artikel 4.
P A U D Masih Dipandang Sebelah Mata

" Para pemangku kepentingan pendidikan belum sepenuhnya memperhatikan pendidikan anak usia 0-6 tahun. Banyak yang memandangnya sebelah mata...""

Perhatian yang demikian kecil pada PAUD bukan hanya menghinggapi masyarakat kebanyakan. Kalangan birokrat pendidikan, terutama di daerah, masih belum melihat pentingnya PAUD.

Buktinya, kebijakan yang dibuat aparatur birokrasi pendidikan belum menyentuh PAUD. Para orang tua di pedesaan pun kurang memiliki kesadaran untuk memasukkan anaknya pada pendidikan anak usia dini.

Kondisi demikian lantas diperparah oleh faktor kemampuan ekonimi masyarakat pedesaan yang rendah. Maka, masyarakat desa pun seperti kata pepatah, “sudah jatuh tertimpa tangga”.

Lantas apa yang harus dilakukan untuk untuk mengatasi masalah ini. Dirjen PLS Ece Suryadi mengatakan sosialisasi PAUD bagi masyarakat desa harus diutamakan.

Seperti diketahui, periode 0-6 tahun adalah usia emas seorang anak manusia. Dus, jika di usia ini anak ditangani dengan baik maka kita akan mendulang sumber daya manusia yang handal kelak di kemudian hari.

Sebaliknya jika kita salah menanganinya, hasilnya justru sebaliknya. Artinya bukan SDM bermutu yang dihasilkan melainkan SDM keropos.

Menangani anak usia dini ini haruslah komprehensif. Maksudnya, pendekatan yang harus diambil adalah dengan perawatan dan pendidikan. Di dalamnya ada tiga hal yang harus diintegrasikan yakni pendidikan, gizi dan kesehatan.

Di negara-negara maju, PAUD sudah ditangani dalam sistem yang mapan. Dengan begitu, pendidikan anak usia dini dikelola secara profesional. Tak mengherankan kalau SDM negara maju cukup bermutu karena sejak dini SDM-nya dipersiapkan dengan dengan baik.

Dalam masyarakat kota, kesadaran akan pentingnya PAUD sudah lebih baik. Para orang tua bahkan mempersyaratkan anaknya masuk Taman Kanak-kanak (TK). Hanya masalahnya, TK sebagai salah satu bentuk pelayanan PAUD (prasekolah) disalahkaprahi. Praktik pengelolaan TK di perkotaan ini terjebak sebagai lembaga formal. TK pun lebih bernuansa schooling (persekolahan). Padahal seharusnya TK dikelola dengan pendekatan preschooling (prasekolah).

Pendidikan TK berkesan seperti kelas awal SD. Soalnya karakteristik materi dan strategi pembelajarannya kaku dan mengarah kepada pengembangan intelektual. Sebagai contoh, dalam kegiatan belajar di TK, guru menerangkan daun hanya di depan kelas (sangat verbalistis dan parsial). Padahal dalam pembelajaran tersebut, anak-anak bisa diajak keluar ruangan kelas untuk mengamati dan bercerita ihwal daun.

Mestinya, pengelolaan pendidikan anak usia dini lebih tepat didekati dengan pendekatan nonformal dengan mengedepankan sentuhan emosi anak. Untuk iitu, pengembangan anak usia dini memerlukan pembenahan internal dari sisi kebijakan, pelurusan konsep dan strategi dalam pengelolaan, serta proses sosialiasi dan diseminasi PAUD kepada masyarakat terutama di pedesaan

Artikel 5.
PAUD Sudah Menjadi Komitmen Internasional
07/03/2007 - 12:04:19 | Read 503 Time(s)

"" Pendidikan Anak Usia Dini sudah menjadi komitmen internasional. Jadi harus ... ""

Pendidikan Anak Usia Dini sudah menjadi komitmen internasional. Jadi harus dilakukan di setiap negara termasuk Indonesia. Ini antara lain berdasarkan Komitmen Jomtien Thailand tahun 1990 yang menyepakati perlunya memperjuangkan anak. Lantas deklasari Dakkar, Senegal tahun 2000 tentang pendidikan untuk semua.Berikut wawancara dengan Direktur PAUD. Bagaimana sesungguhnya komitmen Indonesia terhadap pendidikan anak usia dini ini?PAUD menjadi komitmen nasional, antara lain tertuang dalam amandemen UU 1945 pasal B ayat (2) bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

Bagaimana dengan sasaran PAUD Nonformal, apa target yang hendak dicapai?

Sasaran PAUD nonformal anak 0-6 tahun dengan prioritas usia 2-4 tahun. Usia ini rawan dan kurang beruntung sehingga dijadikan sasaran utama. Sasaran lain orang tua/keluarga, calon orangtua, pendidik/pengelola PAUD, semua lembaga layanan anak usia dini dan para tokoh masyarakat dan stakeholders PAUD yang menjadi sasaran antara. Layanan PAUD nonformal ini bisa di Taman Penitipan Anak (TPA), Kelompok Bermain, serta Satuan PAUD Sejenis (SPS), yang merupakan satuan layanan PAUD nonformal, selain TPA dan Kelompok bermain. Target 2007 anak yang mendapat layanan PAUD 0-6 tahun 28,4 juta, usia 2-4 tahun 12,1 juta (APK PAUD 48,07 % dan Disparitas APK PAUD 4,22). Target 2008, usia 0-6 tahun 28,5 juta, dan usia 2-4 tahun 12,2 juta (APK PAUD 50,47% dan Disparitas APK PAUD 3,62), dan tahun 2009 targetnya PAUD usia 0-6 tahun sebanyak 28,6 juta, usia 2-4 tahun 12,4 juta (APK PAUD 53,90% dan Disparitas APK PAUD 3,02). Dengan dimikian, pada akhir tahun 2009 nanti diharapkan sekitar 53 persen anak usia dini yang diprioritaskan usia 2-4 tahun dapat terlayani PAUD nonformal. .

Mengejar target itu bukanlah pekerjaan gampang. Apa saja tantangannya?

Meskipun upaya peningkatan akses layanan PAUD mengalami peningkatan terutama jika dibanding serbelumnya, namun belum dapat mencapai hasil optimal karena tidak semua anak usia dini memperoleh kesempatan layana PAUD, khusus anak usia bawah 4 tahun. Padahal usia ini rawan serta kurang beruntung, belum semua orang tua, keluarga, dan masyarakat menyadari pentingnya pemberian layanan pendidikan anak usia dini, masih terbatasnya jumlah layanan PAUD, terutama lembaga PAUD nonformal, masih terbatasnya kuantitas dan kualitas pendidikan PAUD yang memiliki setifikasi dan kompetensi, PAUD belum menjadi pendidikan wajib.

Langkah apa saja yang ditempuh Direktorat PAUD?

Kita perlu memberdayakan masyarakat melalui peningkatan kesadaran, dukungan, dan partisipasi aktif orangtua, keluarga, dan mayarakat, serta stakholders PAUD. Selain itu meingkatkan kerjasama dan kemitraan dengan berbagai lembaga, organisasi mitra PAUD, dan meningkatkan perkembangan lembagalembaga PAUD jalur nonformal.

Apa lagi yang akan ditempuh Direktorat Pndidikan Akan Usia Dini dalam memperluas aksesnya?

Kami akan meningkatkan kesadara agar mendukung peningkatan akses dan mutu layanan PAUD melalui membangun dan menumbuhkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya pengembangan dan pendidikan anak usia dini, memperluas, memperkuat, dan meningkatkan jalinan kerjasama kemitraan dengan berbagai lembaga atau organisasi mitra PAUD, dan mendorong, mendukung, memotivasi, dan memfasilitasi tumbuhnya lembaga-lembaga layanan PAUD dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat.

Ada kiat meningkatkan kesadaran masyarakat ini?

Kami lakukandengan pendekatan pemberdayaan semua program melalui wadah lembaga Forum PAUD di tingkat pusat dan daerah, pelembagaan konsorsium PAUD, dan pelembagaan HIMPAUDI (Himpunan Pendidik dan Tenaga Kependididkan Anak Usia Dini). Bentuk-bentukprogram dan kegiatan pemeberdayaan masyarakat antara lain melalui bantuan atau blockgrant rintisan PAUD, bantuan kerjasama kelembagaan PAUD, peningkatan mutu melalui pendidikan, pelatihan, dan magang, sosialisasi, promosi dan pemasyarakatan PAUD, pengembangan model PAUD kerja sama dengan perguruan tinggi, dan pengembangan jaringan kerjasama/kemitraan dengan berbagai lembaga/organisasi mitra PAUD.