Jumat, 29 Mei 2009

Resume

Nama Buku : FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM
Pengrang buku :
Edisi Pertama : 2008
Halaman : 329 halaman.
PENGERTIAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Filsafat
1. Segi Bahasa
I Perkataan filsafat berasal dari bahasa Yunani yang terdiri atas dua kata, yaitu: (1) philein, dan (2) sophos. Philein berarti cinta dan sophos berarti hikmah (wisdom). Perkataan philosophic merupakan perkataan bahasa Yunani yang dipindahkan oleh orang-orang Arab dan disesuaikan dengan tabiat susunan kata-kata orang Arab, yaitu falsafah pola : falala dan fi'la yang kemudian menjadi kata kerja falsafah dan filsaf Adapun sebutan filsafat yang diucapkan dalam bahasa Indonesia kemungkinan besar merupakan gabungan kata Arab falsafah dan bahasa Inggris philosophi yang kemudian menjadi filsafat.
Imam Barnadib mengatakan bahwa kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philar dan sophia. Philar adalah berarti cinta dan sophia berarti kebenaran atau kebajikan Jadi, kata filsafat berarti cinta akan kebenaran atau kebajikan. Kebenaran atau kebajikan yang dimaksud adalah kebenaran yang bergantung sepenuhnya kepada kemampuan daya nalar manusia. Karena itu, kebenaran menurut Plato dan Aristoteles adalah apabila “pernyataan yang dianggap benar itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan sebelumnya”. Dari beberapa kutipan di atas dapat dipahami bahwa pengertian filsafat dari segi ketatabahasaan adalah cinta terhadap pengetahuan atau kebijaksanaan atau kebenaran.

2. Segi Istilah
Muhtar Yahya mengatakan bahwa berpikir filsafat ialah “pemikiran yang sedalam-dalamnya yang bebas dan teliti bertujuan hanya mencari hakikat kebenaran tentang alam semesta, alam manusia dan dibalik alam”. Soegardo Poerbakwatja juga mengatakan bahwa “filsafat ialah ilmu yang berusaha mencari sebab musabab yang sedalam-dalamnya bagi segala sesuatu berdasarkan fikiran belaka”. Sementara Imam Barnadib menyatakan bahwa “filsafat diartikan sebagai ilmu yang berusaha untuk memahami segala hal yang timbul di dalam keseluruhan lingkup pengalaman manusia”. Sesuai dengan makna filsafat; berfilsafat adalah berfikir rasional, spekulatif, sistematis, radikal, dan universal. Dalam hal ini, berpikir filsafat menuntut manusia untuk menugaskan fikirannya bekerja sesuai dengan aturan dan hukum-hukum yang ada, berusaha menyerap semua yang berasal dari alam, baik yang berasal dari dalam dirinya atau di luarnya. Hal ini berarti bahwa berspekulasi adalah suatu tingkatan berfikir filosophis yang lebih mendalam.
Socrates (470-399 S.M) mengatakan, berfilsafat merupakan cara berfikir yang radikal, menyeluruh dan mendasar. Di zaman Yunani, filsafat bukan merupakan suatu disiplin teoritis yang spesial, akan tetapi suatu cara hidup yang konkrit (a concraten way of life), suatu pandangan (hidup) yang total tentang manusia dan alam yang menyinari seluruh kehidupan seseorang. Perkembangan peradaban tersebut menyebabkan manusia mampu melakukan loncatan besar dalam bidang sains, teknologi, kedokteran, ilmu-ilmu sosial dan pendidikan. Perubahan-perubahan tersebut mendorong manusia memikirkan kembali pengertiannya tentang nilai-nilai kebenaran.

B. Pengektian Filsafat Pendidikan dan Filsafat Pendidikan Islam
1. Pengertian Filsaf at Pendidikan
Dalam kaitannya dengan pendidikan, filsafat memiliki makna sebagai pemikiran yang rasional, mendalam, sistematis, universal, dan spekulasi tentang pendidikan. Karena pendidikan menyangkut poblem manusia dengan kehidupannya yang berhubungan dengan aktifitas pendidikan (pekerjaan mendidik), maka secara garis besarnya filsafat pendidikan meliputi pemikiran mengenai bagaimana terhadap manusia, hubungan dengan lingkungan, potensi yang di milikinya, kemungkinan-kemungkinannya untuk di didik, dan sebagainya.
All Khalil Abu ‘Ainaini, umpamanya merumuskan pengertian filsafat pendidikan sebagai “kegiatan-kegiatan pemikiran yang sistematis, diambil dari sistem filsafat sebagai cara untuk mengatur dan menerangkan nilai-nilai tujuan pendidikan yang akan dicapai (direalisasikan)”. Sedangkan menurut Imam Barnadib, filsafat pendidikan adalah ilmu yang pada hahekatnya merupakan jawaban-jawaban pandangan dalam lapangan pendidikan dan merupakan suatu penerapan analisa filosofis terhadap lapangan pendidikan.

2. Pengertian Filsafat Pendidikan Islam
Filsafat Pendidikan Islam memiliki pengertian yang mengkhususkan kajian pemikiran-pemikiran yang menyeluruh dan mendasar tentang pendidikan berdasarkan tuntutan ajaran Islam. Sedangkan ajaran Islam sebagai sebuah sistem yang diyakini oleh penganutnya yang memiliki nilai-nilai tentang kebenaran yang hakiki dan mutlak untuk dijadikan sebagai pedoman dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk di dalamnya aspek pendidikan, filsafat pendidikan Islam adalah pemikiran yang radikal dan mendalam tentang berbagai masalah yang ada hubungannya dengan pendidikan Islam.
a. Apakah tujuan pendidikan yang sebenarnya. Apakah pendidikan itu untuk individu atau untuk kepentingan masyarakat. Apakah pendidikan dipusatkan untuk membina kepribadian individu ataukah untuk pembinaan masyarakat. Apakah pembinaan manusia semata-mata untuk dan demi kehidupan riel dan material di dunia ini, ataukah untuk kehidupan kelak di akhirat yang kekal, atau untuk kedua-duanya.
b. Siapakah hakikatnya yang bertanggung jawab terhadap pendidikan dan sampai di mana tanggung jawab tersebut. Bagaimana hubungan tanggung jawab antara keluarga, masyarakat dan sekolah terhadap pendidikan dan bagaimana tanggung jawab pendidikan tersebut setelah manusia dewasa dan sebagainya.
c. Apakah hakikat pribadi manusia. Manakah yang lebih utama untuk di didik; akal, perasaan atau kemauannya, pendidikan jasmani atau pendidikan mentalnya, pendidikan skill ataukah intelektualnya, ataukah kesemuanya itu.


3. Perbedaan Filsafat Pendidikan Umum dengan Filsafat Pendidikan Islam
Berdasarkan keterangan diatas dapat diketahui perbedaan yang mendasar antara filsafat pendidikan umum dengan filsafat pendidikan Islam, yaitu :
a. Filsafat pendidikan umum tergantung dari teori dan sistem pemikiran semata. Sedangkan filsafat pendidikan Islam didasarkan kepada pemikiran yang bersumber dari wahyu Ilahi.
b. Prinsip berpikir radikal dalam filsafat pendidikan umum memberi makna pada pemikiran tanpa adanya batas. Sementara dalam filsafat pendidikan Islam, berpikir secara radikal memberikan makna kebebasan manusia untuk berpikir yang dibatasi oleh kebenaran wahyu.
c. Para filosof pendidikan umum dalam berfikir cenderung menimbulkan keraguan yang sulit untuk dikompromikan. Masing-masing teori berupaya untuk mempertahankan pendapatnya sebagai kebenaran. Pengaruh ini melahirkan sejumlah aliran dalam filsafat umum seperti emperisme, nativisme, pragmatisme dan sebagainya. Sebaliknya filosof pendidikan Islam, berupaya menghindarkan diri dari keraguan yang bersifat mendasar, karena dalam berfikir para filosuf mendasarkan diri kepada kebenaran wahyu. Dengan pendekatan ini menjadikan teori kebenaran yang dikemukakan mengandung kebenaran yang hakiki dan universal, bukan kebenaran yang befsifat relatif dan spekulatif yang tergantung kepada ruang dan waktu.

C. Motivasi Berfilsafat Dalam Islam
1. Motivasi Al-Qur'an
Al-Qur'an al-Karim, sebuah kitab suci diturunkan oleh Allah SWT yang menjadi petunjuk kepada umat manusia, merupakan kitab yang lengkap dan universal (bersifat 'alami dan jami'iy). Di dalamnya mengandung segala ajaran-ajaran dan petunjuk bagi seluruh umat manusia di segala tempat dan zaman. Sekiranya filsafat berusaha mempelajari hubungan di antara manusia sesama manusia, manusia dan alam semesta, serta manusia dan Tuhan, maka di dalam al-Qur’an secara lengkap terakumulasi kesemua kupasan filsafat yang meliputi persoalan alam wujud (langit dan bumi), benda-benda yang bersifat ke-rohaniaan (spirituil) dan kebendaan (materil), lahir dan batin, serta duniawi dan ukhrawi. Al-Qur’an menghubungkan dan mengumpulkan antara materi dan spirit, iman dan akal, agama dan dunia, usaha dan ibadah, idealisme dan realisme, manusia dan alam semesta, serta alam dan penciptanya. Hal ini sesuai dengan prinsip bahwa Islam adalah agama yang kompleks dan universal. Dalam hal ini, Syed Quthb mengatakan bahwa Islam merupakan suatu sistem kehidupan yang sempurna. Di dalamnya terdapat masalah-masalah aqidah, perundang-undangan, sistem kemasyarakatan dan politik.
Artinya : “Allah memberi hikmah filsafat) kepada orang yang dikehendaki-Nya. Dan barang siapa yang diberi hikmah (filsafat) oleh Allah maka sungguh dia akan mendapatkan kebaikan yang banyak”.
Ayat-ayat yang tertera di atas secara jelas menunjukkan bahwa segala apa yang dijadikan Allah SWT merupakan tanda-tanda untuk dijadikan bahan berfikir dan berfilsafat.

2. Motivasi Hadis
Hikmah (filsafat) itu merupakan barang yang hilang bagi orang yang mukmin, maka siapa yang menemui barang itu ambillah segera.
Hadis-hadis di atas memberikan motivasi bagi para ulama untuk berfikir secara mendalam tentang berbagai hal termasuk yang berkaitan dengan pendidikan. Sesuai dengan kekuasaan ruang lingkup pemikiran yang diarahkan al-Qur’an dan Hadis merupakan pemikiran filsafat yang meliputi berbagai masalah kehidupan manusia seperti ekonomi, politik, hukum dan juga pendidikan yang dilakukan secara mendalam, menyeluruh dan spekulatif.

D. Dasar dan Tujuan Filsafat Pendidikan Islam
Sebagaimana ajaran Islam, Filsafat pendidikan Islam bersumber pokok pada al-Qur’an dan Hadis. Adapun sumber-sumber lain terdiri dari atas: qiyas syari'i dan ijma' ulama yang ada sepanjang masa. Adapun dasar yang kokoh tersebut, terutama al-Qur’an dan Sunnah, lebih memantapkan dasar dan tujuan filsafat pendidikan Islam. Maka kebenaran filsafat yang dihasilkan akan terjaga dari kecenderungan yang menyimpang. Hal ini disebabkan beberapa alasan, yaitu : Pertama, karena adanya pedoman yang jelas dari sumber yang dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya. Kedua, para filosof pendidikan muslim menyepakati kebenaran ajaran yang ada dalam kedua sumber tersebut. Ketiga, sebagai wahyu Ilahi, kedua sumber tersebut sekaligus mengikat pertanggungjawaban para filosof dan ahli pendidikan Islam dengan tanggung jawab agama.
Tujuan pendidikan menurut filsafat pendidikan Islam adalah untuk mempertinggi akhlak. Dua sasaran pokok yang menjadi tujuan filsafat pendidikan Islam adalah abadi dan positif. Abadi, karena tujuan akhir filsafat pendidikan Islam menembus dimensi ruang dan waktu, yaitu keselamatan di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Sedangkan positif, karena tujuan yang akan dicapai senantiasa diarahkan kepada bentuk bimbingan potensi manusia yang fitri : jasmani, akal, qalb, dan ruh.

E. Pendekatan Dalam Filsafat Pendidikan Islam
1. Pendekatan Wahyu
Metode ini digunakan dalam upaya menggali, menafsirkan, dan mungkin-menta’wilkan argumen yang bersumber dari pokok ajaran Islam yang terkandung dalam al-Qur’an dan Hadis. Dengan adanya keyakinan tersebut di atas, maka usaha yang dilakukan oleh para filosof dan ahli pendidikan Islam hanya pada pengalihan bahasan kebenaran wahyu ke dalam bentuk filsafat pendidikan Islam yang bersifat konsepsional.

2. Pendekatan Spekulatif
Pendekatan spekulatif merupakan pendekatan yang umum dipakai dalam filsafat, termasuk filsafat pendidikan Islam. Pendekatannya dilakukan dengan cara memikirkan, mempertimbangkan dan menggambarkan suatu objek untuk mencari hakikat yang sebenarnya.
3. Pendekatan Ilmiah
Pendekatan ilmiah menggunakan metode ilmiah dalam memecahkan masalah-masalah yang berkembang di tengah-tengah masyarakat yang ada kaitannya dengan pendidikan. Pendekatan ilmiyah berkaitan dengan kehidupan kekinian dengan sasaran adalah problematika pendidikan kontemporer.

4. Pendekatan Konsep
Melalui pendekatan ini diharapkan dapat diketahui bagaimana konsep-konsep pendidikan Islam dari zaman ke zaman, faktor-faktor yang mempengaruhi perubahannya, serta latar belakang yang mendorong munculnya konsep-konsep tersebut. Kajian ini dimaksudkan untuk mencari persamaan dan perbedaan antara konsep-konsep yang dihasilkan oleh para pemikir pendidikan Islam di zamannya masing-masing. Dengan mengkaji karya tersebut paling tidak diperoleh beberapa % manfaat antara lain : Pertama, bagaimana perkembangan filsafat pendidikan Islam pada setiap zaman. Kedua, mengetahui hasil karya para pemikir pendidikan Islam. Ketiga, melanjutkan rangkaian pemikiran yang masih relevan sambil melakukan perbaikan-perbaikan pada hal-hal yang perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman dan tuntutan lingkungan. Ketempat, menghindari pola pikir jamping, dengan mengabaikan hasil pemikiran para pakar pendidikan sebelumnya.

F. Ruang Lingkup Filsafat Pendidikan Islam
1. Kosmologi merupakan pemikiran yang berhubungan dengan alam semesta, ruang dan waktu, kenyataan hidup manusia sebagai ciptaan Tuhan, proses kejadian dan perkembangan hidup manusia di alam nyata dan lain-lain.
2. Ontologi merupakan pemikiran tentang masalah asal kejadian alam semesta dari mana asalnya, bagaimana proses penciptaannya dan kemana akhirnya. Pemikiran ontologi pada akhirnya akan menentukan bahwa ada sesuatu yang menciptakan alam semesta ini, apakah pencipta itu bersifat kebendaan (materi) atau bersifat kerohanian (immateri), apakah is banyak/berbilang atau tunggal/ esa.
3. Epismologi merupakan pemikiran tentang apa dan bagaimana sumber pengetahuan manusia diperoleh, apakah dari akal pikiran, apakah dari pengalaman indrawi, apakah dari perasaan/ilustrasi, apakah dari Tuhan.
4. Aksiologi merupakan pemikiran tentang masalah nilai-nilai, misalnya nilai moral, etika, estetika nilai religius dan sebagainya. Menurut George Thomas, merupakan aksiologi mengandung pengertian lebih luas daripada etika atau nilai kehidupan yang bertaraf lebih tinggi.


ALIRAN ALIRAN DALAM FILSAFAT PENDIDIKAN DAN PANDANGAN FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM

Dalam perjalanan sejarahnya, filsafat pendidikan telah melahirkan berbagai pandangan, yang cenderung menimbulkan keraguan yang sulit untuk dikompromikan. Hal ini disebabkan karena masing-masing pandangan berusaha mempertahankan pendapatnya sebagai suatu kebenaran. Pengaruh dari pandangan yang berbeda-beda tersebut melahirkan berbagai aliran, seperti eksistensialisme, realisme, pragmatisme, idealisme, humanisme, dan lain-lain.

A. Idealisme
1. Hakikat Idealisme
Idealisme termasuk dalam kelompok filsafat tertua. Tokoh aliran ini adalah Plato (427-347 SM) yang secara umum di pandang sebagai bapak idealisme di Barat yang hidup kira-kira 2500 tahun yang lalu. Sejarah idealisme berawal dan pikiran Plato (427-347 SM). Pikirannya berpengaruh terhadap para pemikir ± 2000 tahun se-sudahnya, termasuk pemikir di kalangan agama Masehi. Aliran ini juga telah ikut berpengaruh kepada pemikiran filosof Barat, seperti Imanuel Kant, Hegel dan lain-lain. Menurut Plato, kebenaran empiris yang dilihat dan di rasakan terdapat dalam alam idea (esensi), form atau idea.

2. Prinsip-prinsip Idealisme
a. Menurut idealisme bahwa realitas tersusun atas substansi sebagaimana gagasan-gagasan atau ide-ide (spirit). Menurut penganut idealisme, duniabeserta bagian-bagiannya hams dipandang sebagai suatu sistem yang masing-masing unsurnya saling berhubungan. Dunia adalah suatu totalitas, suatu kesaruan yang logis dan bersifat spiritual.
b. Realitas atau kenyataan yang tampak di alam ini bukanlah kebenaran yang hakiki, melainkan hanya gambaran atau ekspresi dari ide-ide yang ada dalam jiwa manusia.

c. Idealisme berpendapat bahwa manusia menganggap roh atau sukma lebih berharga dan lebih tinggi dari pada materi bagi kehidupan manusia. Roh pada dasarnya dianggap sebagai suatu hakikat yang sebenarnya, sehingga benda atau materi disebut sebagai penjelmaan dari roh atau sukma. Demikian pula terhadap alam adalah ekspresi dari jiwa.
d. Idealisme berorientasi kepada ide-ide yang theo.sentris (berpusat kepada “Tuhan), kepada jiwa, spiritualitas, hal-hal yang ideal (serba cita) dan kepada norma-nonna yang mengandung kebenaran mutlak. Oleh karena nilai-nilai idealisme bercorak spiritual, maka kebanyakan kaum idealisme mempercayai adanya Tuhan sebagai ide tertinggi atau Prima Cuasa dari kejadian alam semesta ini.

3. Implementasi Idealisme dalam Pendidikan
a. Pendidikan bukan hanya mengembangkan atau menumbuhkan, tetapi juga harus digerakkan ke arah tujuan, yaitu terhadap tujuan dimana nilai telah direalisasikan ke dalam bentuk yang kekal tak terbatas.
b. Belajar adalah proses “Self development of mind as spiritual substance” yang menempatkan jiwa bersifat kreatif. Pendidikan adalah proses melatih daya-daya jiwa seperti pikiran, ingatan, perasaan, baik untuk memahami realita, nilai-nilai dan kebenaran, maupun sebagai warisan sosial.
c. Tujuan pendidikan adalah menjaga keunggulan (excellence) kultural, sosial dan spritural; memperkenalkan suatu spirit seperti kehidupan intelektual; membangun manusia dan masyarakat yang idea.
d. Pendidikan idealisme berusaha agar seseorang dapat mencapai kesempurnaan dirinya, yaitu mencapai nilai-nilai dan ide-ide yang diperlukan oleh semua manusia secara bersama-sama.
e. Tujuan pendidikan idealisme adalah ketetapan mutlak. Untuk itu, kurikulum pendidikan seyogyanya bersifat tetap, dan tidak menerima perkembangan. Bertitik tolak atas dasar tersebut, maka takkala para ilmuan telah mencapai ke tingkat ilmu yang tinggi, maka ia berusaha pula untuk mentransfernya dari satu generasi ke generasi berikutnya. Dalam konteks ini, agama, akhlak, dan ilmu humaniora dipandang sebagai core kurikulum.
f. Peranan pendidik menurut aliran idealisme adalah memenuhi akal beserta didik dengan hakikat-hakikat dan pengetahuan yang tepat. Dalam hal ini, seorang guru harus menyiapkan situasi dan kondisi yang kondusif untuk mendidik peserta didik, serta lingkungan yang ideal bagi kehidupan mereka, kemudian membimbing mereka dengan penuh kasih sayang dengan ide-ide yang dipelajarinya hingga sampai ke tingkat yang setinggi-tingginya (derajat kesempurnaan).

4. Pandangan Filsafat Pendidikan Islam terhadap Idealisme
Pendidikan idealisme mengutamakan atau bertitik tolak kepada kemutlakan roh dan mengabaikan hal-hal yang bersifat materi (fisik). Dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, pendidikan seyogyanya mampu mengarahkan manusia pada kehidupan yang seimbang, baik keseimbangan antara roh dan jasad, keseimbangan antara materil dan spiritual, keseimbangan antara individu dan masyarakat, serta keseimbangan duniawi dan ukhrawi.
Dalam beberapa aspek, filsafat pendidikan Islam memiliki prinsip-prinsip yang serupa dengan prinsip idealisme, terutama idealisme spiritualistis. Hal ini disebabkan, karena idealisme mengakui adanya zat tertinggi yang menciptakan realitas alam semesta serta menggerakkan hukum-hukum-Nya, termasuk sanksi-sanksinya. Oleh karena itu, filsafat pendidikan Islam termasuk ke dalam paham idealisme yang spritualistis dan moralistic. Perbedaan antara pendidikan moral menurut idealisme dan Islam terletak pada sanksi dan sumber moral diambil dijadikan pedoman. Bagi idealisme, sanksi bagi pendidikan moral terletak di dalam susunan dunia moral. Sedangkan menurut Islam, sanksi-sanksi moral tersebut terletak pada siksa Tuhan. Sementara sumber moral pun berasal dari Tuhan.

B. Realisme
1. Hakikat Realisme
Realisme berasal dari real yang berarti aktual atau yang ada. Realisme adalah aliran Yang patuh kepada yang ada (fakta). Realisme termasuk dalam kelompok pemikiran klasik. Aliran ini berpijak atas dasar percaya akan hakikat-hakikat yang kekal dan tidak mengalami perubahan dalam situasi dan kondisi apapun. Kaum Realisme memandang dunia ini dari sudut materi. Menurut mereka, realitas di dunia ini adalah alam. Segala sesuatu berasal dari alam dan yang menjadi subjek adalah hukum alam (dunia nyata, alam dan benda).
Menurut aliran ini, pengamatan, penelitian dan penarikan kesimpulan mengenai hasil-hasilnya adalah perlu agar dapat diperoleh gambaran yang tepat secara (langsung atau tidak langsung) mengenai sesuatu. Realisme berpendapat bahwa pengetahuan adalah benar dan tepat apabila sesuai dengan kenyataan.

2. Prinsip-prinsip Realisme
a. Aliran filsafat ini terpusat pada dasar bahwa substansi alam manusia tergambar dalam dua kekhususan, yaitu berbicara dan berpikir. Karenanya, manusia bisa menggunakan pikirannya untuk sampai kepada hakikat-hakikat dan mengenai alam yang ia tempati.
b. Aliran ini memandang masyarakat atas dasar tiga prinsip pokok, yaitu : (1) Adanya alam adalah nyata, wujud dan tetap, tak ada peranan manusia dalam membinanya atau menciptanya. (2) Adanya alam ini bisa dikenal manusia dengan jalan akal. (3) Pengenalan adalah penuntun tingkah lakunya, baik tingkah laku perorangan atau masyarakat.
c. Karena aliran ini percaya dengan keazalian/keabadian hakikat-hakikat, maka tidaklah kewajiban manusia selain menyikapi nilai-nilai yang ada. Dalam konteks ini, manusia bisa jadi objek (sasaran) dalam pandangan tingkah lakunya. Hal ini berarti bahwa manusia wajib menurut moral warisan yang turun kepadanya melalui warisan sosial.

d. Aliran ini menghormati sains dan mempertahankan hubungan yang erat antara sains dengan filsafat.

3. Implementasi realisme dalam pendidikan
a. Tujuan dan pendidikan adalah transmisi dari: (1) kebenaran universal yang terpisah dari pikiran, pendapat dan pernyataan intelektual, (2) pengetahuan Tuhan, pengetahuan manusia dan masalah alamiah hanya ada jika ada Tuhan, (3) nilai atau keunggulan kultural pendidikan seharusnya menjadikan seseorang sadar terhadap dunia nyata, termasuk nilai dan potensi kehidupan.
b. Metode pengajaran dalam pendidikan realisme tunduk para prinsip “mempengaruhi dan menerima”, dimana realisme menentukan tujuan pendidikannya dengan “mempengaruhi” dan memandang kenyataan atau realita materi pendidikan yang utama. Pendidikan realisme mengutamakan pendidikan akal (rasio) atas dasar bahwa pendidikan adalah tujuan dan sasaran untuk mendapat segala sesuatu yang diperoleh melalui proses berpikir yang didapat melalui metode latihan yang benar.
c. Perhatian pendidikan realisme tertuju pada pemenuhan akal para murid dengan peraturan-peraturan dan hakikat-hakikat yang ter-lihat dalam alam.
d. Seorang guru realisme mesti ahli dalam bidang studinya (kompetensi professional). Sebab, tugas seorang guru terpusat dalam usaha memindahkan apa yang ia lihat benar kepada murid secara terus menerus.
e. Realisme mempercayai adanya perubahan yang terbatas dan berjalan menuju satu arah. Perubahan tersebut terjadi bila pendidikan mampu mengungkap hakikat-hakikat dan undang-undang yang baru, serta menyempurnakan hakikat-hakikat dan undang-undang yang lama, bukan menyalahinya.


4. Pandangan filsafat pendidikan Islam terhadap realisme
a. Penerapan realisme yang cenderung menekankan pada aspek fisik dalam proses pendidikan akan menimbulkan ketidak-seimbangan pengembangan potensi peserta didik. Hal ini disebabkan, karena peserta didik adalah manusia yang memiliki potensi fisik dan psikis yang masing-masingnya membutuhkan bimbingan untuk berkembang secara optimal. Penitikberatan pada satu aspek saja berarti akan mengorbankan atau merugikan aspek lainnya. Oleh sebab itu, pendidikan dalam Islam merupakan suatu kegiatan yang terarah untuk mengembangkan potensi yang terkandung dalam kedua unsur tersebut secara maksimal.
b. Indra dan akal manusia memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam mengamati sesuatu. Oleh sebab itu, akal dan indra saja tidak dapat dijadikan satu-satunya acuan untuk menentukan sesuatu itu benar. Untuk itulah, dalam perspektif filsafat pendidikan Islam, diperlukan adanya wahyu untuk dapat menuntun manusia menuju kebenaran yang hakiki. Manusia tidak dapat menemukan kebenaran hakikf hanya tatkala manusia mengandalkan panca indra dan akal saja, tetapi manusia juga membutuhkan tuntunan wahyu (agama).
c. Balam realisme, pendidikan luar sekolah sangat terbatas. Sedangkan dalam filsafat pendidikan Islam, pendidikan luar sekolah (keluarga dan lembaga sosial) mempunyai peran yang besar dalam pembentukan kepribadian peserta didik.
d. Syarat seorang guru dalam filsafat realisme adalah profesional dalam bidangnya, karena tugasnya hanya sekedar mentransfer ilmu. Sementara dalam pendidikan Islam, seorang guru di samping profesional, juga seorang yang dapat menjadikan dirinya sebagai uswah hasanah bagi peserta didiknya. Hal ini disebabkan, karena tugas pendidikan dalam Islam bukan saja mentransfer ilmu, tetapi juga internalisasi nilai-nilai lahiah.

C. Perenialisme
1. Hakikat Perenialisme
Menurut AK Coomaraswamy filsafat Perenialisme dimaksudkan sebagai pengetahuan yang selalu ada dan akan selalu ada, yang bersifat universal. Begitu juga halnya uraian Leibniz tentang filsafat Perennial bahwa merupakan metafisika yang mengakui realitas Ilahi yang substansial bagi dunia benda-benda, hidup dan pikiran. Hal ini merupakan psikologi yang menemukan sesuatu yang sama di dalam jiwa bahkan identik dengan realitas Ilahi dan juga merupakan sebuah etika yang menempatkan tujuan akhir manusia pada pengetahuan tentang dasar yang imanen maupun transenden dan segala yang ada. Unsur-unsur filsafat Perennial ini bisa didapatkan pada tradisi bangsa primitif dalam setiap agama dunia dan pada bentuk-bentuk yang berkembang secara penuh pada setiap hal dan agama-agama yang lebih tinggi. Filsafat Perenialisme mempunyai perhatian utama pada Yang Satu, yaitu Realitas Ketuhanan dan berusaha menemukan sistem-sistem pemikiran pada masyarakat primitif yang pada ujungnya memperkuat argumen bahwa pemahaman ketuhanan adalah bersifat universal di setiap agama bangsa manusia.
Jadi filsafat Perennial pada dasarnya mengkaji sesuatu yang ada dan akan selalu ada dan menawarkan pandangan alternatif agar manusia kembali kepada akar-akar spritualitas dirinya tanpa tenggelam dalam gemerlap kehidupan materi yang sering kali membuat kita silau dan menimbulkan berbagai tindakan yang tidak sesuai dengan kemanusiaan kita. Pandangan filsafat Perennial adalah bahwa dalam setiap agama dan tradisi-tradisi esoteric, ada suatu pengetahuan dan pesan keagamaan yang sama, yang muncul melalui beragam nama dan dibungkus dalam berbagi bentuk dan symbol.

Ciri-ciiLPerenialisme
1. Perennial memberikan jalan menuju pencapaian kepada yang Absolut melalui pendekatan mistik, yaitu melalui intelek yang lebih tinggi dalam memahami secara langsung tentang Tuhan.
2. Filsafat Perennial berusaha menjelaskan adanya sumber dari segala yang ada (being from being), bahwa segala wujud ini sesungguhnya bersifat relatif, ia tidak lebih sebagai jejak, kreasi atau cerminan dari Dia yang Esensi dan Substansinya di luar jangkauan nalar manusia.
3. Filsafat perenialisme berusaha mengungkapkan apa yang disebut “wahyu batiniah”, “agama asli”, hikmah khalidah, “kebenaran abadi”, “Sophia perennis” yang terukir dalam lembaran hati seseorang yang paling dalam yang senantiasa rindu pada Tuhan dan senantiasa mendorong seseorang berfikir dan berprilaku yang benar. Dengan kata lain, secara psikologis filsafat Perennial mempertahankan pandangan bahwa dalam diri setiap orang terdapat “atman”, yang pada dasarnya merupakan pancaran dari “Brahman” atau dalam bahasa Bible, “Manusia itu diciptakan menurut gambaran Tuhan”
4. Filsafat perennial memperhatikan kaitan seluruh eksistensi yang ada di alam semesta ini dengan realitas mutlak. Wujud pengetahuan tersebut dalam diri manusia hanya dapat dicapai melalui intelek (spirit-soul). Jalan ini pun hanya dapat dicapai melalui tradisi-tradisi, ritus-ritus, simbol-simbol dan sarana-sarana yang memang diyakini oleh kalangan perennial ini sebagai berasal dari Tuhan. Dalam pandangan perennial kesatuan yang dimaksud adalah dalam hal yang esoterik dan melampaui setiap bentuk manifestasi lahiriah.
Perennialis memandang bahwa keadaan sekarang adalah sebagai zaman yang mempunyai kebudayaan yang terganggu oleh kekacauan, kebingungan dan kesimpangsiuran. Perennealis melihat akibat atau ujung dari zaman sekarang ini telah menimbulkan banyak krisis diberbagai dimensi kehidupan manusia dalam rangka mengobati zaman yang sedang sakit, maka aliran ini memberikan konsep regressive road to cultural yakni kembali kepada masa lampau yang masih ideal.

2. Implementasi Perenialisme dalam Pendidikan
Perkembangan konsep-konsep Perennealis banyak dipengaruhi oleh tokoh-tokoh berpengaruh seperti Plato, Aristoteles dan Thomas Aguino.
a. Menurut Plato ilmu pengetahuan dan nilai sebagai manispestasi dan hukum universal yang abadi dan ideal sehingga ketertiban social hanya akan mungkin di capai bila ide itu menjadi tolak ukur yang memiliki asas normative dalam semua aspek kehidupan.
b. Menurut psikologi Plato manusia secara kodrati memiliki tiga potensi, yaitu nafsu, kemauan dan akal. Ketiga potensi ini merupakan asas bagi bangunan kepribadian dan watak manusia. Ketiga potensi itu akan tumbuh dan berkembang melalui pendidikan, sehingga ketiganya berjalan secara berimbang dan harmonis.
c. Menurut Aristoteles orientasi pendidikan ditujukan kepada kebahagiaan, melalui pengembangan kemampuan-kemampuan kerohaniah seperti emosi, kognisi serta jasmaniah manusia.
d. Menurut Thomas Aguino bahwa tujuan pendidikan sebagai usaha untuk merealisasikan kapasitas dalam tiap individu manusia sehingga menjadi aktualitas. Out-put yang diharapkan menurut perenealisme adalah manusia mampu mengenal dan mengembang-kan karya-karya yang menjadi landasan pengembangan disiplin mental. Karya-karya ini merupakan buah pikiran tokoh-tokoh besar pada zaman lampau.

3. Pandangan Pendidikan Islam Terhadap Perenialisme
a. Perealis dalam konteks pendidikan dibangun atas dasar satu keyakinan ontologisnya bahwa batang tubuh pengetahuan yang berlangsung dalam ruang dan waktu ini mestilah terbentuk melalui dasar-dasar pendidikan yang diterima manusia dalam kesejarahan-nya. Reobert M Hutchins, salah seorang tokoh perennial me-nyimpulkan bahwa tugas pokok pendidikan adalah pengajaran. Pengajaran memmjukkan pengetahuan, sedangkan pengetahuan itu sendiri adalah kebenaran. Kebenaran pada setiap manusia adalah sama oleh karena itu dimanapun, kemanapun dan kapanpun ia akan selalu sama.
Prinsip dasar pendidikan bagi aliran perenialis adalah membantu peserta didik menemukan dan menginternalisasikan kebenaran abadi, karena memang kebenarannya mengandung sifat universal dan tetap. Kebenaran seperti ini hanya dapat diperoleh melalui latihan intelektual yang dapat menjadikan pikirannya teratur dan tersistematis sedemikian rupa. Hal ini semakin penting terutama bila dikaitkan dengan persoalan pengembangan spritual manusia. Dalam filsafat pendidikan Islam kebenaran abadi tidak hanya di peroleh melalui latihan intelektual, tetapi juga bahkan yang lebih penting adalah latihan intuisi atau qalb atau zhaug.
b. Aliran ini meyakini bahwa pendidikan adalah transfer ilmu pengetahuan tentang kebenaran abadi. Pengetahuan adalah suatu kebenaran sedangkan kebenaran selamanya memiliki kesamaan. Filsafat pendidikan Islam memandang bahwa suatu kebenaran yang hakiki dan abadi datangnya dan Allah, maka untuk mendapatkan kebenaran tersebut, maka pendidikan harus mengacu pada wahyu yang telah diturunkan Allah. Penyesuaian diri pada kebenaran yang datang dari Allah merupakan tujuan dan pembelajaran. Dalam rangka mencapai efisiensi pembelajaran, maka pendidik tidak hanya memperhatikan aspek kognitif saja tetapi juga afektif, dan . psikomotorik agar peserta didik mengalami perkembangan yang utuh dan seimbang sesuai dengan tujuan pendidikan itu sendiri.
c. Perenealisme lebih cenderung pada subjek centred dalam kurikulum maupun dalam metode dan pendekatan yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Dalam kurikulum akan terlihat materi-materi yang mengarahkan pada kepentingan dan kebutuhan subjek didiknya dalam menumbuhkembangkan potensi berpikir, kreatif yang dimilikinya, sedangkan dalam metode pembelajaran peranialisme mengutamakan metode yang selalu memberikan kebebasan berpikir peserta didik baik melalui metode diskusi, problem solving, penelitian dan penemuan.
Program pendidikan yang ideal menurut perenialisme adalah berorientasi pada potensi dasar agar kebutuhan yang ada pada setiap lapisan masyarakat dapat terpenuhi. Manusia pada hakikatnya adalah sama meskipun tempat dan lingkungannya berbeda. Oleh karena itu pola dan corak pendidikan yang sama dapat diterapkan kepada setiap manusia dimanapun dan kapanpun.
d. Perenialisme berpandangan bahwa meskipun substansi semua agama itu sama, tapi kehadiran substansi akan selalu dibatasi dan fungsinya terkait dengan bentuk, sehingga secara eksoterik dan operasional akan berbeda antara agama yang satu dengan agama yang lainnya. Setiap agama selalu otentik untuk zamannya meskipun secara substansial kebenarannya bersifat perennial, tidak dibatasi ruang dan waktu. Semua agama yang hadir adalah benar adanya, yang satu tidak menghapus dan menggantikan yang lain. OLeh karena itu, dalam filsafat pendidikan Islam kebenaran yang mutlak hanya terdapat dalam ajaran Islam, sedangkan agama selain Islam k,ebenarannya bersifat relatif karena dibatasi oleh ruang dan waktu.

D. Eksistensialisme
1. Hakekat Eksistensialisme
Kata “eksistensi” menurut Save M. Dagun, berasal dari kata Latin “Existere”, “ex” yang berarti keluar dan “sitere” yang berarti membuat berdiri. Jadi, eksistensialisme berarti apa yang ada, apa yang memiliki aktualitas, apa saja yang dialami. Menurut eksistensialisme, hakekat manusia terletak dalam eksistensi dan aktivitasnya. Aktivitas manusia merupakan eksistensi dari dirinya dan hasil aktifitas yang dilakukan merupakan cermin hakekat dirinya.
Dengan demikian, aliran ini hendak memadukan hidup yang dimiliki dengan pengalaman dan situasi sejarah yang dialami manusia. Aliran ini tidak mau terikat oleh hat-hal yang sifatnya abstrak dan spekulatif. Pada fase awal, Danish Soren Kierkegaard yang disebut sebagai tokoh pembuka tabir gerakan eksistensialisme ini masih mewarnai corak pemikirannya dengan teologi. Nuansa teologis ini tampak ketika ia mengatakan bahwa setiap pribadi membawa kepenuhan eksistensi manusiawinya sendiri. Kepenuhan eksistensi ini terwujud pada keputusan kebebasan manusia
Namun, ketika pada periode selanjutnya, muncul tokoh yang bernama Jean Paul Sartre (1905-1981) dan Nietzhche (1844-1900), aliran eksistensialisme ini tampaknya berkembang menjadi radikal dan ekstrim. Sartre misalnya, menyatakan bahwa manusia memiliki kebebasan absolut dan tidak terbatas, lebih ekstrim lagi, Nietzche dengan lantang mengatakan bahwa Tuhan telah mati dan di kubur. Oleh karena itu, para penganut agama tidak perlu lagi takut akan dosa.

2. Prinsip-prinsip Eksistensialisme
a. Aliran ini tidak mementingkan metafisika (Tuhan). Aliran ini memandang bahwa manusia tidak diarahkan. Manusia yang menciptakan kehidupannya sendiri dan oleh sebab itu manusia bertanggung jawab sepenuhnya atas pilihan-pilihan yang dibuat.
b. Kebenaran lebih bersifat eksistensial dari pada proporsional atau faktual. Seperti halnya dalam pragmatisme, kebenaran itu di ciptakan tidak ditemukan, hidup tidak dipikirkan bersifat kontekstual dan relatif tidak universal atau absolut, subjektif dan parsial tidak objektif atau general, namun pengetahuan juga tidak bersifat instrumental atau praktis. Pengetahuan lebih merupakan suatu keadaan dan kecenderungan seseorang.
c. Aliran ini memandang individri dalam keadaan tunggal selama hidupnya dan individu hanya rnengenal dirinya dalam interaksi dirinya sendiri dengan kehidupan.
d. Aliran ini tidak mementingkan jawaban-jawaban pasti terhadap masalah-masalah filsafat yang penting.
e. Jiwa aliran ini mengutamakan manusia, memperkembangkan eksistensi pribadinya atas alasan bahwa manusia akan mati. Karena itu, manusia harus menyiapkan dirinya untuk kematian. Namun demikian, dalam dataran realitas, sayangnya aliran ini tidak menetapkan apa yang harus dipersiapkan manusia untuk menghadapi kematian tersebut.

3. Implementasi Eksistensialisme dalam Pendidikan
a. Aliran ini mengutamakan perorangan/individu. Dalam dataran pendidikan, aliran ini menuntut adanya sistem pendidikan yang beraneka warna dan berbeda-beda, baik metode pengajarannya maupun penyusunan keahlian-keahlian.
b. Aliran filsafat ini memandang individu dalam keadaan tunggal selama hidupnya. Dalam hal ini, individu hanya mengenal dirinya dalam interaksinya sendiri dengan kehidupan.
c. Aliran filsafat ini percaya akan kemampuan ilmu untuk memecahkan semua persoalannya. Karena itu, murid berkewajiban untuk melakukan eksperimen dan pembahasan untuk memungkinkannya ikut secara nyata dalam setiap kedudukan yang dihadapinya, atau dalam setiap masalah yang hendak dipecahkannya.
d. Aliran ini tidak membatasi murid dengan buku-buku yang di-tetapkan saja. Sebab, hal ini membatasi kemampuan murid untuk mengenal pandangan lain yang bermacam-macam dan berbeda-beda. Aliran ini cenderung kepada penggunaan metode Socrates dalam pengajaran, yaitu metode induksi sebagai proses pemahaman manusia atas dirinya. Fungsi ilmu adalah untuk membangkitkan minat pelajar dan kecerdasannya dalam usaha menumbuhkan diri pribadinya.

4. Pandangan Filsafat Pendidikan Islam
a. Dalam bidang pendidikan, aliran eksistensialisme menekankan agar masing-masing individu diberi kebebasan mengembangkan potensinya secara maksimal, tanpa ada batas (mutlak). Akibatnya, kebebasan mutlak pada gilirannya telah menghilangkan eksistensi Tuhan sebagai pencipta dan pengatur kebebasan. Hal ini dapat membawa kepada atheisme.
b. Prinsip kebebasan dalam Islam justru mengantarkan manusia dekat kepada Tuhan. Manusia telah diberi kemampuan potensial untuk berpikir, berkehendak bebas dan memilih. Pada hakikatnya manusia dilahirkan sebagai seorang muslim yang segala gerak dan prilakunya cenderung berserah din kepada Khaliknya.
c. Manusia tidak meminta tolong kepada dirinya saja tetapi juga dengan kekuasaan tertinggi (Allah).
Firman Allah SWT:
“Kepada-Mu kami menyembah dan kepada-Mukami minta pertolongan” (QS. al-Fatihah: 4).
d. Kebebasan yang diberikan Islam pada manusia bukan kebebasan yang absolut, melainkan kebebasan yang tetap berada pada koridor llahi dan dipimpin oleh nilai-nilai agama. Sebab, bagaimanapun juga manusia adalah makhluk yang memiliki keterbatasan. Dalam hal ini, filsafat pendidikan Islam memandang manusia (peserta didik) sebagai makhluk yang memiliki kebebasan dan potensi untuk berkembang.
e. Sebagai hamba Allah, manusia dituntut untuk selalu mengarahkan aktivitas kehidupannya pada pengabdian kepada Allah SWT dan sebagai Khalifah Allah fi al-Ardh. Dalam kapasitas seperti yang disebutkan terakhir ini, manusia bertanggung jawab untuk mengurus, memelihara serta mengolah alam semesta ini dalam kerangka ibadah kepada Allah dan manusia harus mempertanggung jawabkan atas aktivitas yang dilakukan dihadapan Allah.
Firman Allah SWT:
Artinya : "... sesungguhnya Allah selalu mengawasimu".
(QS. al-Nisa’: 1).
f. Manusia dalam filsafat pendidikan Islam adalah makhluk mulia yang punya risalah (tugas). Sementara menurut existensialisme, manusia tidak ada bentuk. Manusia hanya suatu gambaran dari sejumlah kemungkinan-kemungkinan yang mesti bekerja.

E. Pragmatisme
1. Hakikat Pragmatisme
Aliran Pragmatisme timbul pada abad 20. Pendiri aliran ini adalah Charks E. Peirce. Pemikiran Peirce mendapat pengaruh dari Kant dan Hegel. Aliran Pragmatisme adalah suatu aliran yang memandang realitas sebagai sesuatu yang secara tetap mengalami perubahan (terus menerus berubah). Bagi pragmatisme semua yang mengalami perubahan tidak ada yang kekal (tetap). Adapun yang kekal adalah perubahan itu sendiri.
Secara sederhana, pemikiran filsafat pragmatisme dapat dikatakan sebagai memalingkan pandangan jauh jauh dari sesuatu/hal-hal yang bersifat awal, prinsip-prinsip, undang-undang, dan keharusan-keharusan yang diterima, dan mengarahkan pandangan kearah sesuatu/hal-hal yang akhir yakni buah, hasil, dan pengaruh dari sesuatu itu.
Sementara Home menambahkan bahwa pragmatisme merupakan suatu aliran yang lebih mementingkan orientasinya kepada pandangan antrhoposentris (berpusat kepada manusia), kemampuan kreativitas dan pertumbuhan manusia ke arah hal-hal yang bersifat praktis, kemampuan kecerdasan dan individualitas serta perbuatan dalam masyarakat.

2. Prinsip-prinsip Pragmatisme
a. Pragmatisme merupakan salah satu aliran filsafat yang tidak mengakui bahwa dalam diri manusia terdapat kemampuan moralitas dan spiritualitas. karena manusia adalah makhluk yang bergantung hanya pada kemampuan kreativitas, kecerdasan dan cara berbuat dalam masyarakat. Manusia mengandalkan kemampuan empiris dan rasional dalam kaitannya dengan ilmu pengetahuan.
b. Manusia ideal menurut filsafat pragmatisme adalah manusia yang mampu merealisasikan kemanfaatan (utilitas) dirinya dalam masyarakat melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki, ukuran baik dan buruk, benar dan salah didasarkan pada kemanfaatan tingkah laku manusia dalam masyarakat. Bilamana masyarakat memandang baik atau benar, maka perilaku tersebut adalah befinoral dan berbudaya tinggi.
c. Kebenaran adalah suatu yang di lakukan (pragmatisme) sebuah fungsi dan nilai praktis, sengaja di buat untuk terjadi, lebih bersifat menyempurnakan dan pada menemukan suatu kasus. Berangkat dari uraian di atas, terlihat bahwa ukuran moral menurut aliran filsafat pragamtisme bersifat tidak permanen, tidak pasti dan selalu berubah menurut situasi, kondisi, lingkungan, waktu serta dinamika suatu masyarakat yang bersangkutan.
d. Ukuran kebenaran ialah pengalaman yang berguna bagi manusia. Tidak ada kebenaran yang bersifat azali (kekal). Kebenaran hanya ada apabila kebenaran memberi manfaat bagi manusia. Aliran ini tidak percaya dengan adanya nilai rohani yang tinggi, sebelum adanya manusia. Karena sesuatu akan berguna tatkala ia benar, atau sesuatu itu benar karena ia berguna.
e. Mempergunakan pengalaman sebagai upaya mencapai kebenaran yang hakiki bahwa manusia akan mampu membuat hakikat bagi dirinya. Sebab, manusia merupakan subjek yang mengalami dan membahas hasil pengalaman. pada gilirannya manusia akan menemukan nilai-nilai dan hakikat-hakikat yang berguna dalam hidupnya.
f. Untuk keluar dari pikiran yang abstrak ke dunia nyata (praktis) digunakan metode ilmiah, agar manusia sampai kepada hakikat, maka metode yang digunakan adalah metode induktif. Ilmu pengetahuan diambil sifatnya dari dan dalam kerja.
g. Pertumbuhan pengetahuan diperoleh melalui jalan keahlian (pengalaman) Pertumbuhan adalah kekhususan hidup. Untuk itu, pendidikan dan pertumbuhan ilmu pengetahuan tidak mengenal batas akhir. Selanjutnya, berhubung keinginan, perhatian dan kecenderungan murid sebagai pusat perhatian dalam pendidikan pragmatisme, maka filsafat ini mengutamakan untuk menggunakan metode yang bervariasi guna mencapai tujuan yang maksimal.

3. Implementasi Pragmatisme dalam Pendidikan
a. Pendidikan adalah jalan pokok menuju kemajuan sosial dan central perbaikan. Karena pendidikan dapat didefinisikan sebagai usaha yang terus menerus dengan tujuan meluaskan dan mendalamkan jangkauan/liputan sosialnya, berbarengan dengan usaha menyiapkan anak didik untuk tanggap dan berperan dalam kegiatan alamiah.
b. Aliran ini tidak memisahkan antara materi pengajaran dengan metode pengajaran. Variasi metode pengajaran yang digunakan berpijak atas konsep demokrasi. Guru tidak boleh menghilangkan keaktifan anak didiknya. Seorang guru tidak boleh membatasi kegiatan murid dan hanya menerima pemikiran guru.
c. Aliran ini mempercayai adanya perbedaan-perbedaan kecerdasan individual (differensiasi individual) pendidikan yang perlu dikembangkan seyogyanya menekankan pada upaya menanamkan rasa kebebasan individual kepada setiap orang yang bekerja dibidang pendidikan.
d. Kurikulum pengajaran merupakan kesatuan-kesatuan dinamika yang mempunyai tujuan.
Pendidikan adalah suatu proses yang tiada akhirnya dan berbagai proses tersebut berlangsung dalam berbagai tujuan:
1) Proses transmisi dan transformasi kultural dari generasi ke generasi.
2) Proses komunikasi; karena masyarakat terbentuk dalam sistem komunikasi.
3) Proses direksi (pengarahan) terhadap lingkungan sekitar dan kemampuan dasar anak didik.
4) Proses konservasi dan progessif yaitu mengawalkan kebudayaan dan memajukan kebudayaan masyarakat.
5) Proses rekapitulasi dan rekonstruksi; proses pengulangan kebudayaan nenek moyang manusia dan sekaligus menyusun kembali (reorganisasi) pengalaman yang akan meningkatkan abilitas (kecakapan) mengarahkan proses pengalaman berikut-nya.

4. Pandangan Filsafat Pendidikan Islam terhadap Pragmatisme
a. Pragmatisme terpusat pada masa kekinian. Meskipun demikian, aliran ini tidak berarti mengabaikan masa datang, bahkan tidak memberi arti penting bagi masa datang tersebut. Sementara filsafat pendidikan Islam terpusat pada manusia dalam keberadaannya dan dalam semua masanya (masa lalu, sekarang dan masa depan).
b. Filsafat pragmatisme mempropagandakan demokrasi dan menanamkannya melalui pengajaran dan pengalaman. Namun demikian, pendekatan ini tidak cukup untuk membentuk dan menumbuhkan manusia yang baik dalam kehidupan, karena dalam pandangan filsafat pendidikan Islam, tatkala manusia menginginkan jalan keluar dari kesulitan hidup di dunia sekarang ini, sudah pasti harus dengan dasar akhlak yang kokoh. Bahaya pada pragmatisme, ialah bahwa ia tidak percaya kepada Allah, kecuali bila ia bermanfaat
c. Filsafat pragmatisme menganggap baik dan benar terhadap semua (cara) yang mengantarkan pada kebermanfaatan. Sementara menurut Islam, tidak semua yang bermanfaat tersebut baik dan sesuai dengan nilai-nilai agama yang dapat mengantarkan manusia mencapai kebahagiaan yang tertinggi dari kehidupan materi (lahiriah) maupun immateri (bathiniah).
d. Proses pendidikan dalam pragmatisme bertujuan memberikan pengalaman empiris kepada anak didik sehingga terbentuk suatu pribadi yang belajar dan berbuat (learning by doing). Proses demikian berlangsung sepanjang hayat. Hanya saja, nilai-nilai tersebut tidak menjadi ukuran absolut (baku) sebagaimana kemutlakan nilai kewahyuan (al-Qur’an dan Hadis) melainkan nilai yang relatif; yaitu nilai baik dan buruk, benar dan salah, bermanfaat atau tidak bermanfaat menurut pertimbangan kultural masyarakat.

F. Iptek Esosialisme
1. Hakikat Sosialisme
Sosialisme pada mulanya berdasarkan marxisme. Aliran ini merupakan aggregasi dari ide filsafat yang dikembangkan dalam sosial Karl Marx. Akar filsafat Karl Marx (marxisme) terdapat pada filsafat Hegel (Jerman), dan kemudian dikembangkan oleh Karl Marx dan Frederich Engles sehingga akhirnya menjadi aliran tersendiri yang bernama historis materialisme.
Aliran filsafat ini terdapat di beberapa bagian dunia masa kini. Meskipunberbeda-beda namanya, tetapi memiliki substansi nilai yang sama. Kadang-kadang digunakan nama sosialisme marxisme (dinisbahkan kepada Karl Marx), Marxisme Leninisme, (dinisbahkan kepada Marx peletak dasar dan Lenin pelaksananya), atau komunisme dengan sifatnya yang merangkum semua pemikiran-pemikiran komunisme (sosialisme ilmiah).

2. Prinsip-prinsip Sosialisme
a. Percaya secara mutlak dengan teorimaterialismebagisegalasesuatu, baik dalam pandangannya kepada alam secara keseluruhan atau pandangannya tentang manusia dan masyarakat. Aliran sosialisme memandang ilmu sebagai keperluan hidup yang terpenting, terutama yang ditentukan oleh materi sebagai sesuatu yang tunduk kepada kekuasaan lingkungan, materi patuh pada pengaruhnya, tidak sulit memimpinnya atau mustahil merubah sifatnya.
b. Percaya bahwa agama itu tidak lain hanya merupakan hasil perkembangan materi belaka. Manusia amat disengsarakan oleh seribu satu bahaya. Karena ada bahaya, maka timbullah suatu pemikiran tentang Tuhan yang dapat melindunginya. Jadi, eksistensi Tuhan sesungguhnya hanya merupakan ciptaan pikiran manusia. Untuk itu, aliran sosialisme mengingkari Allah sebagai pencipta dan selanjutnya mengingkari adanya agama.

3. Implementasi Sosialisme dalam Pendidikan
a. Pendidikan menempati tempat yang sangat penting dalam aliran filsafat ini. Kalau sosialisme berdiri atas dasar penguasaan negara atas semua alat produksi untuk mewujudkan pertumbuhan, maka upaya yang demikian tidak sempurna secara mutlak, tanpa pendidikan tanpa pendidikan bagaimana mungkin akan terjadi proses merubah sifat manusia untuk menerima ketentuan ini. Dalam konteks ini, kaum sosialis melihat bahwa pendidikan adalah senjata damai untuk kepentingan sosialisasi dan transformasi nilai-nilai ajaran komunisme.
b. Aliran ini menyatakan, bahwa pengajaran adalah hak untuk semua rakyat. Aliran ini mengingkari dan menghilangkan perbedaan kelas dan menyamakan antara pria dan wanita dalam kesempatan mendapat pelajaran. Aliran ini tak mengakui agama dan menghapus pengaruhnya dari kurikulum pengajaran.
c. Pendidikan sosialisme mengutamakan pendidikan praktek, terapan, dan menyebarkan pengajaran polyteknik, dimana pelajar masuk pada berbagai cabang industri, teori dan praktek.


4. Pandangan Filsafat Pendidikan Islam terhadap Sosialisme
a. Sosialisme mementingkan pendidikan dan diletakkannya di tempat pertama/utama. Demikian pula filsafat pendidikan Islam yang mengakui bahwa pendidikan merupakan upaya strategis dan utama. Bedanya adalah bahwa sosialisme meletakkan pendidikan untuk mengabdi kepada negara dan partai (komunisme/sosialis), sedangkan pendidikan Islam mementingkan pengabdian kepada Allah SWT dan terlaksananya tugas kekhalifahan manusia di muka bumi yang telah didelegasikan Allah.
b. Sosialisme mengakui kemutlakan materi. Aliran ini tidak melihat eksistensi roh melainkan sebagai limpahan dari perkembangan alam. Selanjutnya, aliran ini mengabaikan dan melupakan faktor rohani pada diri seseorang dan menjadikan manusia sebagai materialis yang mengingkari nilai-nilai rohani. Sedangkan pendidikan Islam adalah pendidikan yang memberikan keseimbangan antara jasmani dan rohani, rnateril dan spiritual.
c. Sosialisme dalam prinsip filsafatnya bercirikan kemutlakan bagi individu yang mementingkan perkembangan sosial dan ekonomi.
d. Pendidikan sosialisme mementingkan pembinaan kelas pekerja (untuk mengabdi kepada partai). Sementara pendidikan Islam menitikberatkan pada upaya pembinaan potensi diri peserta didik secara maksimal, berakhlak mulia, dan mengembangkan dimensi ilahi pada diri peserta didiknya.

G. Progresivisme
1. Hakikat Progresivisme
Progresivisme berasal dari kata “progress” yang berarti kemajuan. Secara harfiah dapat diartikan sebagai aliran yang menginginkan kemajuan secara cepat.
Progresivisme adalah suatu aliran yang menekankan, bahwa pendidikan bukanlah sekedar pemberian sekumpulan pengetahuan kepada peserta didik tetapi hendaklah berisi aktivitas-aktivitas yang mengarah pada pelatihan kemampuan berpikir mereka sedemikian rupa sehingga mereka dapat berpikir secara sistematis melalui cara-cara ilmiah seperti memberikan analisis, per-timbangan dan pembuatan kesimpulan menuju pemilihan alternative yang paling memungkinkan untuk pemecahan masalah yang dihadapi. Progresivisme disebut juga instrumentalisme, karena aliran ini beranggapan bahwa kemampuan intelegensi manusia sebagai alat untuk hidup, untuk mengembangkan kepribadian manusia.
Dia disebut eksperimentalisme karena aliran tersebut menyadari dan mempraktekkan asas eksperimen yang merupakan untuk menguji kebenaran suatu teori. la dinamakan enviromentalisme karena aliran ini menganggai) bahwa lingkungan hidup mempengaruhi pembinaan kepribadian.

2. Prinsip-Prinsip Progresivisme
a. Progresivisme berakar pada pragmatisme, yang orientasinya anthropocentris (berpusat kepada mahasiswa)
b. Sasaran pendidikan ialah meningkatkan kecerdasan praktis (kompetensi) dalam rangka efektivitas pemecahan masalah yang disajikan melalui pengalaman.
c. Nilai bersifat relative, terutama nilai duniawi, menjelajah aktif evolusioner dan konsekuensi perilaku.
d. Manusia mempunyai kemampuan-kemampuan yang wajar dan tepat menghadapi dan mengatasi masalah-masalah yang bersifat menekan atau mengancam keberadaan manusia.
e. Progresivisme dianggap sebagai the liberal road of culture (Kebebasan mutlak menuju ke arah kebudayaan) maksudnya nilai-nilai yang dianut bersifat fleksibel terhadap perubahan, toleran dan terbuka. Dan menuntut pribadi-pribadi penganutnya untuk selalu bersikap sebagai penjelajah, peneliti guna mengembangkan pengalaman.
f. Filsafat progresivisme menaruh kepercayaan terhadap kekuatan alamiah manusia, kekuatan yang diwarisi manusia sejak lahir (man's natural powers).


3. Implementasi progresivisme dalam pendidikan
a. Ppogresivisme kurang menyetujui adanya pendidikan yang bercorak otoriter, baik yang timbul pada zaman dahulu maupun sekarang. Pendidikan yang otoriter dapat diperkirakan mempunyai kesulitan untuk mencapai tujuan yang baik, karena kurang menghargai dan memberikan tempat semestinya kepada kemampuan peserta didik dalam proses pendidikan.
b. Progresivisme sangat menghargai kemampuan berfikir yang dapat menumbuhkan kemajuan berpikir menjadi inti perhatian progresivisme karena ia merupakan bagian utama dari kebudayaan.
c. Progresivisme tidak mengakui kemutlakan kehidupan, menolak absolotisme dan otoritarisme dalam segala bentuknya, nilai-nilai yang dianut bersifat dinamis dan selalu mengalami perubahan, pendidikan progresivisme menolak pendidikan yang bercorak teacher centric.
d. Progresivisme yang meletakkan dasar pada penghormatan yang bebas atas martabat manusia dan martabat pribadi. Dengan demikian filsafat progresivisme menjunjung tinggi hak asasi individu dan menjunjung tinggi akan nilai demokrasi. Oleh karena itu progresivisme berorientasi kepada nilai-nilai demokratis dan selalu mengembangkan alur pendidikan.

4. Pandangan Filsafat Pendidikan Islam Terhadap Progresivisme
a. Filsafat progresivisme mempunyai konsep bahwa manusia atau peserta didik mempunyai akal dan kecerdasan sebagai potensi yang merupakan suatu kelebihan dibandingkan dengan makhluk-makhluk lain. Kelebihan manusia memiliki potensi akal dan kecerdasan dengan sifat kreatif dan dinamis, peserta didik mempunyai bekal untuk menghadapi dan memecahkan pro-blematiknya. Seiring dengan pandangan di atas filsafat pendidikan Islam mengakui bahwa peserta didik memang memiliki potensi akal yang dapat di kembangkan dan mengakui pula individu atau peserta didik pada dasarnya adalah insan yang aktif, kreatif dan dinamis.
b. Menurut progresivisme pendidikan tidak lain adalah proses perkembangan, sehingga seorang pendidik mesti selalu siap untuk senantiasa memodifikasi berbagai metode dan strategi dalam pengupayaan ilmu-ilmu pengetahuan terbaru dan berbagai rperubahan yang menjadi kecenderungan dalam suatu masyarakat. Filsafat pendidikan Islam mengakui hal yang sama sebagaimana yang diinginkan oleh filsafat progresivisme, yaitu bahwa masyarakat itu bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan ilmu, oleh sebab itu kita harus terbuka dalam menghadapi permasalahan serta mau menerima kritikan demi kesempurnaan. Untuk mendapatkan suatu perubahan manusia harus memiliki pandangan hidup yang bertumpu pada sifat-sifat fleksibel (tidak kaku, tidak menolak perubahan, tidak terikat dengan dogma tertentu.
c. Progresivisme terutama mcnuntut pemikiran John Dewey (salah seorang pelopor progresivisme) tidak mengakui atau menghilangkan nilai-nilai absolut seperti yang di dapat dalam agama - progresivisme hanya mengakui - nilai-nilai cultural - relativisme menjadi dasar pegangan dalam proses kependidikan. Sedangkan dalam pendidikan Islam proses pendidikan didasarkan kepada nilai-nilai absolute yang dapat membimbing pikiran, kecerdasan dan kemampuan dasar untuk berkembang dan tumbuh. Dengan nilai absolut itulah pendidikan akan berlangsung secara tetap dan konstan ke arah tujuan akhir yang tidak berubah-ubah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar